Sunday, August 26, 2012

Amarahku Adalah Kekhawatiranku

Pagi ini, telah kusiapkan cinta yang manis untuk kembali kau santap, menjadikan hari-harimu lebih bersemangat. Setelah kau tatap mataku seraya berterima kasih, tanpa kau kecup keningku kau menghilang dari pandanganku. Aku menunggumu, Sayang… Karena kau telah berjanji hari ini kita akan menghabiskan matahari bersama-sama.

Aku lama menunggumu. Waktu yang kau janjikan sebagai start kebersamaan kita hari ini sudah terlewat. Aku mulai cemas, khawatir, dan… takut kehilangan dirimu. Bayangan masa lalu seketika datang, aku sangat takut  untuk kau tinggalkan, bahkan untuk kau duakan.  Kejadian masa lalu telah membekaskan trauma di jiwaku. Apakah, jika saat itu kurelakan kau bersamanya, kau akan bahagia? Atau jika saat itu aku mau untuk kau bagi cintamu dengan yang lain, apakah kau yakin kau akan adil? Jika iya, aku hanya menyayangkan kenapa dulu aku tak menyetujui permintaanmu. Senyatanya kita tidak pernah tahu tentang masa depan. Aku tak ingin kebahagiaan yang telah kita perjuangkan kau hapus begitu saja. Aku terlalu takut untuk kecewa.
Dugaan-dugaan dalam hati akhirnya kutumpahkan kepada anakku setelah kau diam saat aku tanya “dari mana?”, aku tak mampu mengendalikan amarahku barang sedetik. Aku ingin marah di hadapanmu tapi aku tak ingin kau balas dengan murka. Aku tetap ingin menjadi garwamu yang taat…

Kita tidak lagi pengantin baru, usia pernikahan kita sudah melewati setengah usiaku yang berkepala lima. Apakah aku yang selalu saja kekanak-kanakan atau kau yang lagi-lagi tak pengertian? Aku ingin menikmati usia senja kita bersama anak-anak dalam kedamaian, dalam kebahagiaan yang sesaat lagi sebelum kita kembali pada Penggenggam Semesta. Biarlah kebenaran bersemayam di tempatnya…

Maafkan aku, anakku…
Aku ingin selalu menghormati dan memulyakan suamiku, namun amarahku selalu menghukuminya.

Maafkan aku, suamiku…
Untuk menjadi istri yang selalu muda dan sempurna aku tak bisa…

No comments:

Post a Comment