Tuesday, February 8, 2011

Tidak Lebih dari Dua Ribu Menit

Minggu pertama bulan Februari, Sabtu pagi, aku turun dari bis yang telah mengantarku pulang ke kampung tentramku. Aku mendekap badanku sendiri berupaya mengurangi rasa dingin yang menembus tulang, sweater yang kupakai belum cukup menghangatkanku. Ditambah lagi aku lupa membawa kaos kaki selama perjalanan semalaman, akibatnya kakiku berulang kali kram dan linu karena tidak tahan dengan dingin ac bis. Dan ternyata udara dingin kota ini lebih menusuk dari dinginnya ac bis malam itu. Selamat datang di Bumi Kartini.

Jalanan masih sangat lengang, tak banyak kendaraan lalu-lalang di jalan raya. Sangat berbeda dengan Jakarta yang sudah siap macet sepagi itu, Jakarta macet Raya. Dan aku pun tak perlu takut menyebrangi jalan raya itu.

Hanya ada satu angkutan pedesaan menuju rumahku yang kelihatan di pangkalan angkot Pekeng. Tujuh kilometer lagi aku sampai rumah. Tak pikir panjang, aku menyamankan duduk di angkot itu, masih berharap akan berkurangnya dingin yang kurasakan. Dan hanya dengan tiga penumpang di angkot pagi itu, akhirnya pak sopir menjalankan mobilnya dengan harap-harap cemas mendapat penumpang lagi. Dan hingga pangkalan terakhir di pasar desa, penumpang masih saja tiga wajah itu termasuk aku.

Aku terakhir turun dari penumpang lainnya, seharusnya angkot berhenti di pasar, namun aku minta pada pak supir, “Dugi prapatan nggih, Pak”, akhirnya aku diantar sampai perempatan yang berjarak kurang lebih 500 meter dari pasar. Sesampainya di perempatan, aku merasakan kebahagiaan melihat pohon besar di halaman rumah Mbah Rayi, mencium bau tanah yang nampak banyak bletok karena hujan, dan kemudian tersenyum melihat rumahku

Pukul tujuh tepat aku masuk rumah. Dan isi rumah itu yang aku rindukan. Menghabiskan pagi aku bercanda dengan Aida, adikku yang paling kecil. Lepas dzuhur, ada beberapa tamu yang mencari Ibu. Ibu masih ngajar dan hapenya tidak dibawa, aku bingung bagaimana menghubungi Ibu. Akhirnya dengan kepedean aku jagongi tamu-tamu Ibu, justru aku yang ditanya macam-macam.

Jelang ashar, Aida asyik main dengan temannya. Aku ikut nimbrung Mas Oni, De Arif, Lek Ismet dan beberapa tetangga yang ada di depan rumah. Akhirnya Ibu rawuh juga, kemudian aku laporan ada beberapa orang yang mencari Ibu. Belum sempat istirahat, belum juga ngobrol denganku, Ibu sudah mernah-mernahke pawon dan ikut repot.

Rasanya cepat sekali waktu berlalu, sampai maghrib terhitung sudah sepuluh jam lebih aku di tempat itu. Aku mendengarkan suara dziba’an di masjid depan rumah sehabis isya’ sambil memberesi undangan yang belum disebar. Hujan sejak pagi yang tak henti-henti, dan hujan yang cukup deras menjadi faktor penunjang flu bagiku. Setelah selesai tugasku mengetik susunan acara untuk keesokan harinya dan riwayat hidup Bapak -dengan pertolongan darurat Miss Nyit2, haha-, aku sudah tak tahan dengan dingin dan rasa lelah perjalanan dua belas jam yang belum kubayar dengan tidur, akhirnya dengan selimut seadanya aku terlelap di depan tv hingga pagi.

Ahad pagi, setelah subuh, hujan terus saja turun. Aku dan ibu-ibu yang sambatan menyiapkan jajan untuk acara jam sembilan pagi hari itu. Seribu kardus akhirnya rapi. Sudah banyak tamu yang datang, malunya ketika aku disapa beberapa orang dalam keadaan belum mandi, apalagi rapi, haha...

Acara Maulid Nabi dan Haul Bapak dimulai pukul sembilan. Hujan berhenti, dan hanya rintik gerimis yang tidak begitu besar selama acara berlangsung. Di tengah-tengah acara, di tengah-tengah konsentrasi Ibu pada acara, Ibu berulang kali mengingatkan aku untuk pesan tiket. Sore itu juga aku harus pergi lagi, mengejar ujian semester yang belum juga selesai.

Aku tidak ingin ketinggalan acara inti dari acara itu. Nasihat sesepuh yang aku idolakan siang itu harus aku rekam tanpa kurang. Sejak kecil aku sangat mengidolakan Mbah Sya’roni yang sering ‘bercerita’ dalam mau’idhohnya. Cekak aos, singkat namun penuh makna. Siang itu kerinduanku pada beliau terlunasi.

Acara pun selesai. Ibu masih lari kesana-kemari. Aku tak ada waktu untuk sekedar menceritakan sesuatu yang -meskipun- tidak begitu penting padanya. Aku bersiap-siap untuk pergi lagi, mengecek ulang bawaanku. Sebelum pergi, aku keliling kampung naik vespa bersama Arief walaupun gerimis kembali datang.

Agenda yang tak terrealisasi dalam kepulangan singkatku itu adalah berkunjung ke makam Bapak. Maaf, Bapak... aku tak mengunjungi rumah jasadmu.

Aku pamit pada Ibu, pelukan yang cukup lama, hatiku berdesir, dan sifat cengengku muncul. Setelah semua kupamiti, aku pergi. Ya, tidak lebih dari dua ribu menit aku berada di gubuk istimewaku...