Saturday, December 18, 2010

[ ... ]

Jika semua anganku pasti terjadi,
Jika semua yang terjadi adalah anganku sebelumnya,
Aku tak perlu mengatur langkah...

Namun kehidupan merahasiakan arah,
Maka tentang nanti pun biarlah...

Hanya saja tak henti aku berdo'a, Tuhan...
Perkenankanlah...

18122010

Saturday, November 27, 2010

Permainan November Rain

Anyer, November 2009

'Do you need some time...on your own
Do you need some time...all alone
Everybody needs some time...on their own

Don't you know you need some time...all alone'

Setelah sengaja mendengarkan November Rain milik Guns n' Roses, kubawa ingatanku menyusuri kembali jalan yang sudah kulewati, atau bahkan terlewatkan. Ternyata bulan ini November, dan November kali ini adalah November ketiga aku di Ciputat. Tiba-tiba ada beberapa hal yang menjadi korelasi antara ketiga Novemberku dan November Rain-nya Guns n' Roses.
November 2008 adalah November pertamaku di kota orang ini. Bulan itu tanah Ciputat juga sering diinjak-injak air langit, dan aku juga menghujani diriku dengan air mata. Aku jatuh sakit dan sempat menikmati dua malam di Rumah Sakit. Meskipun sudah merelakan dua malamku di Rumah Sakit ternyata si ‘sakit’ belum juga mau pergi. Dia masih saja krasan bersamaku, padahal yang aku inginkan adalah agar dia segera pergi. Namun Tuhan berkata lain dan aku manut saja.
Tahun 2009 aku kembali sakit di bulan November sampai harus diungsikan ke rumah saudaraku di Bogor. Menyita waktu Mbak Nta untuk menjadi dokter pribadiku saat itu (untungnya Mbak Nta udah ga’ sibuk kuliah, hehe… makasih Mbakku sayang). Hampir dua minggu aku menjadi pasien khusus Mbak Nta, hingga akhirnya di kota hujan itu aku mengambil suatu keputusan yang sampai sekarang kurasakan dampak positifnya. Keputusan yang saat itu dinilai main-main oleh banyak orang, namun aku tetap teguh pada pilihanku itu. Karena sebelumnya aku sempat bertanya via sms pada beberapa teman tentang keberanian, dan dari jawaban mereka dapat kusimpulkan bahwa keberanian itu adalah puncak yakin dan benar. Terima kasih, kawan.
Hari ini adalah hari ke dua puluh tujuh bulan November 2010. Aku masih berada di tempat yang sama seperti kemarin. Rentetan cerita yang terjadi di bulan ini tak kalah serunya dengan cerita-cerita bulan November sebelumnya. Banyak kejadian-kejadian yang di luar rencana dan di luar dugaan.
Kejadian-kejadian ang menimpaku sering kali kuartikan sebagai musibah berketerusan. Aku sering merasa tersudut, terpojokkan oleh segala masalah yang aku alami itu. Aku merasa aku lah orang yang paling tak beruntung di dunia hingga sering kali aku merasakan cekot-cekot yang cukup dahsyat di kepalaku. Mungkin aku stress. Aku terlalu kolot dalam menikapi cobaan-cobaan itu.
Di ujung mumet aku tak ingin memikirkan siapapun juga apapun. Benar apa kata Guns n' Roses, adakalanya aku ingin sendiri, tak ingin sekedar menyapa atau disapa sekalipun. Aku butuh waktu untuk berdialog dengan diriku sendiri. Ya Tuhan, buka dan tenangkanlah pikiran serta hatiku.
Pada saat seperti itulah aku mulai menyadari… Hidup adalah tempat segala hal yang pasti berubah. Suka-duka-suka-duka-suka-duka-suka-duka-dan seterusnya. Kehidupan ini hanya sebuah perhentian, aku tengah melakoni perjalanan panjang yang pasti akan aku temui duri, jurang, tebing, batu terjal, apapun, dimanapun, kapanpun. Inginku memang yang senang-bahagia-tentram-nyaman-tenang-dan yang enak-enak saja, tapi jelas itu tak mungkin. Gelisah-khawatir-susah, itu juga kawan dalam hidup. Semua itu sudah menjadi satu paket kehidupan.
Kumundurkan perlahan dan sejenak langkah pikirku, mengikuti apa yang sebenarnya hatiku sembunyikan… Aku harus berusaha mengontrol pikiranku, memanage hati serta perasaanku secara aktif. Di saat aku berada dalam ketidakbahagiaan aku harus yakin bahwa ini hanya sendau gurau waktu, aku harus yakin kesedihan-kesedihan yang aku alami sesungguhnya adalah sebuah pembelajaran; kesabaran, keikhlasan, keteguhan, kepasrahan, kekuatan, dan lain sebagainya, aku harus mengubah pola pikirku dalam menghadapi semua masalah agar aku bisa menerima dan legowo, hingga akhirnya aku dapat menangkap apa pesan yang dibawa aliran mata air yang deras ini, merasakan apa yang mereka sebut hikmah.
Tuhan, sesungguhnya semua ini adalah nikmat-Mu yang harus aku syukuri.


Maafkan aku, diriku… Aku terlalu sering membiarkanmu larut dalam kesedihan dan kebingungan.

Pojok kamar sempit,
Sabtu Wage, 27112010

Wednesday, November 3, 2010

( ... )

Aku tertidur di antara lipatan kertas yang bertutur
Menikmati tiap lembarnya, tiap goresan tintanya
Untuk kuseduh dalam secangkir kebahagiaan...

Aku terlelap dalam alunan bahagia
Melukis senyum karena tawa
Meringis karena tangis
Dan kuharmonikan kerinduan...

Aku -sengaja- tidur dibawah rindu,
Menuntaskan rindu dalam mimpiku...


Masih pagi, (lagi2 aku merindukanmu secara tiba2, Bapakku...)
03112010

Wednesday, October 27, 2010

Kosongku Penuh

Bangun siang lagi dan memang setiap hari. Rumah kos ini sudah sepi tak terdengar gaduh penghuninya. Dengan delapan puluh persen kemalasan kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, membasuh muka, tangan, mengusap rambut, dan membasuh kakiku dengan air yang berhasil membuat kantukku hilang. Sekenanya. Kemudian kuganti kaos oblongku dengan koko putih yang sudah seminggu tak kucuci. Dua raka’at subuh.
      Perlahan kubuka jendela kamar, keramaian anak-anak SD belakang kos ini melukiskan kedamaian. Sejenak kupandangi ulah mereka, kenakalan anak-anak yang wajar. Seperti dulu aku dan kawan-kawanku yang selalu berlari mengejar sesuatu. Hobi berlari waktu kecil itu berlanjut hingga saat ini. Aku masih suka lari.
      Pukul tujuh lebih sepuluh menit. Kuambil kamera Canon 50d, kuabadikan gambar sepasang burung yang memutari Merah Putih di ujung tiang tiga meter. Good angel.
 Segelas kopi dan sebatang rokok, sarapanku seperti biasa sebelum berangkat ngantor. Kukalungkan kamera andalanku di leher, meninggalkan kamar 4X5 meter yang menjadi tempat penyimpanan ide-ide dan hasil usilku.
      Di pekarangan rumah kos, Bu Fat, Si pemilik rumah tengah asyik dengan kegiatan rutin paginya, bermain di taman hijau miliknya. Mataku usil, jepretan kedua hari ini, kucuri gambar Bu Fat yang sedang memotong daun kering di salah satu tanaman hiasnya. Satu detik saja.
      “Selamat pagi, Bu” sapaku.
      “Nak Ubay, berangkat sekarang?” jawabnya sambil mengusapkan telapak tangannya pada baju panjang yang dipakainya. Sudah tahu karena kebiasaan bahwa aku akan mencium tangannya.
      “Iya… saya berangkat dulu, Bu.” pamitku sambil mengulurkan tangan.
      “Hati-hati ya, Nak!” tangan kananku disambut tangan kanannya dan diusapnya rambutku dengan tangan kirinya.
***
Sudah dua tahun aku bekerja di galeri ini. Sebuah galeri foto milik seorang gadis cerdas, baik, dan cantik. Salah satunya mungkin karena gadis itu, Rosyada, aku masih bertahan di tempat ini.
“Bay, loe dicari Mbak Oca” kata Ari, teman kerjaku.
“Ngapain?”
“Gambar yang kemarin loe kasih ke Mbak Oca ditawar mahal, tapi nggak dikasih sama Mbak Oca, dia mau gambar loe itu diikutsertakan di pameran gede minggu depan. Loe ke ruangan Mbak Oca aja deh!”  jelas Ari.
Kuayun langkah meninggalkan meja kerjaku, langkah ketiga aku berhenti dan berbalik, kutoleh kameraku yang sudah kutaruh di atas meja tadi. Aku kembali mengalungkan perekam cerita visual itu dan meneruskan langkahku.
“Mbak nyari saya?” tanyaku setelah kuketuk pintu ruang pribadi pemilik galeri dan dipersilakannya  aku untuk masuk.
“Oh, Ubay… Iya, duduk.” jawabnya tegas dan menarik. Makhluk ini memang sudah menarik perhatianku sejak dulu.
“Ini…” dia menunjukkan padaku gambar sunset hasil usilku beberapa hari lalu. “Kamu tahu tanggapan Saya atas gambar ini?” lanjutnya.
“Tidak.” jawabku singkat.
“Menarik. Kamu tahu kenapa?”
“Tidak.”
“Gambar ini punya cerita yang beda dengan gambar sejenisnya.” wajahnya berbinar seperti orang lapar yang menemukan makanan. Aku hanya sedikit mengernyitkan dahi.
“Kenapa diam saja, Bay?” tanyanya lagi.
“Lalu saya harus ngomong apa, Mbak?” godaku sambil tersenyum.
“Gambar ini sketsa keindahan, saya suka. Kemarin ada yang minta gambar ini dengan harga tinggi, tapi saya menolak. Saya ingin gambar ini ada di pameran foto nasional minggu depan, dari galeri kita, tentunya dengan nama kamu. Saya yakin banyak yang suka. Gimana menurutmu?” jelas gadis yang tiga tahun lebih muda dariku itu, sapaan Mbak adalah suatu penghormatan untuk atasan kerjaku.
Aku berfikir sejenak, merasa aneh sendiri dengan hasil usilku itu.
“Terserah Mbak.” jawabku singkat.
“Ok.. Kita sepakat, gambar ini ikut pameran minggu depan.” dia tersenyum puas.
Aku beranjak dari dudukku. Di ujung pintu, sebelum kutarik tubuhku keluar ruangan, kuarahkan bidikanku pada wajah menarik itu. Klik.
“Kamu…?!” wajah itu tercengang.
“Maaf, karena kamu juga sketsa keindahan.” jawabku seenaknya, kemudian meninggalkan wajah kaget itu. Aku tersenyum, hatiku berdesir.
Kulanjutkan pekerjaanku, berkutat seharian dengan komputer, pensil, gambar, kamera. Sesekali kuletakkan kepalaku di atas meja, kupejamkan mataku yang terasa berat. Walau kerap kali aku mendapat teguran dari atasan idolaku, hal itu bukanlah suatu masalah besar karena hasil kerjaku selalu tak mengecewakannya. Aku masih ada di titik aman.
Pukul tiga sore, aku tak bisa melawan kantuk ini. Semalam aku baru tidur ketika kudengar adzan subuh dari surau samping kos. Kusandarkan kepalaku di punggung kursi dan mataku mulai terpejam.
***
“Bay… Bay… bangun, udah sepi ni kantor. Jam lima, boy!” Ari membangunkanku.
Kutelungkupkan kedua telapak tanganku pada wajah, panas. Kuberesi bawaanku dan siap meninggalkan tempat ini.
Aku berjalan menuju masjid pinggir kota dekat kantorku. Merupakan satu kebiasaanku juga adalah sengaja meninggalkan sholat dzuhur dan menggantinya saat ashar.
Di teras masjid kutemui beberapa orang yang juga hendak sholat. Kuambil air wudlu dan ikut berjama’ah dengan orang-orang yang aku lihat tadi. Disebelahku, anak seumuran kelas dua SD juga ikut sholat berjama’ah.
Usai sholat ashar aku lanjutkan empat raka’at dzuhur yang kutinggal. Aku rebahkan tubuhku setelah sholat, kulayangkan pikiranku. Tiba-tiba anak kecil yang sholat disampingku tadi mengahampiriku.
“Kak, Kakak sholat lagi?” tanpa ba-bi-bu anak kecil itu mengkritisiku.
“Iya.” jawabku pendek, mungkin lebih tepatnya aku malu jika harus menjawab sejujurnya.
“Kenapa?” anak kecil itu ternyata tak puas dengan jawaban singkatku.
Nggak sholat dzuhur tadi.” jawabku.
Emang kenapa? ‘kan nggak boleh ninggalin sholat, Kak.” anak itu lalu pergi meninggalkan tanya di benakku.
Aku perhatikan anak itu, kini dia duduk bersama seorang laki-laki setengah baya. Dibukanya Al-Qur’an yang sudah nampak usang, dan lirih kudengar suaranya mengaji di hadapan laki-laki tua itu. Tak berselang lama setelah mengakhiri bacaan Al-Qur’annya, dia memberikan sebuah buku kepada laki-laki yang ada di dekatnya itu.
“Kakek, kemarin Amin udah ngafalin bacaan I’tidal. Sekarang ngafalin apa, Kek?” tanya anak kecil itu pada seseorang yang ia panggil kakek.
“Sekarang menghafal bacaan sujud, ya… artinya juga dibaca dan difahami.” pinta si Kakek.
Tanganku yang dari tadi kujadikan tumpuan badanku kini bergetar. Anak kecil itu sedang belajar sholat. Sama seperti aku dulu yang juga belajar sholat dengan ayahku. Jantungku seketika berdegup kencang. Ada sesuatu yang tiba-tiba memenuhi ruang fikirku. Aku tak mampu lari.
Aku dibawa mundur ke belakang oleh ingatan, dihadirkan pada rentetan masa yang terasa sangat cepat berlalu. Kemarin, kemarin lusa, dulu.
Kepalaku berat, mataku berkunang-kunang. Aku disindir oleh kejadian yang baru saja kusaksikan itu. Aku malu pada anak kecil yang menegurku tadi. Lalu, bagaimana aku harus malu kepada Pemilik anak kecil itu yang juga Pemilikku?
Selama ini aku selalu ingat akan sholat. Aku pasti menggantinya dengan segera jika ada yang aku tinggalkan, seperti sholat dzuhur yang aku tinggal tadi. Namun, yang baru aku sadari adalah aku hanya menggerakkan anggota tubuhku untuk menggugurkan kewajiban sholatku. Berdiri, ruku’, sujud, duduk. Gerakan-gerakan itu cukup menjadi jawaban ketika aku ditanya, “Sudah sholat?”, tanpa pikir panjang aku bisa menjawab “Sudah”. Aku hanya melafadzkan bacaan-bacaan sholat yang sejak kecil sudah kuhafal tanpa meresapi maknanya.
Tuhan, aku sering mencuri keindahan ciptaan-Mu tanpa mengerti apa yang tersirat, bahwa Kaulah Yang Maha Indah. Aku sering menikmati hasil potretanku tanpa memuji Pencipta objek potretanku. Kedamaian yang sering kurasakan itu adalah dari-Mu, dan aku tak menyadarinya. Hatiku sering berdesir ketika bertemu gadis pujaanku, aku tak pernah mendesirkan hatiku untuk-Mu. Aku malu dengan nama yang diberikan ayahku: Ubaidillah. Aku hamba-Mu yang sangat kecil. Wujud penghambaanku tak bernilai.
Sholatku hampa. Hatiku kosong.
“Sholat kuwi kudu tenanan. Aja guyon karo koncone wektu sholat. Madep Gusti Allah kok guyon. Sholat kuwi bentuk syukur marang Gusti Allah, nyuwuna karo Gusti Allah. Allah kuwi Maha Kuasa. Syukur, ndonga, nyuwuna ngapura. Kuwi, Le… Elinga pesenku iki.” Sepuluh tahun yang lalu, begitu pesan lelaki tuaku sebelum meninggalkanku.
Aku gemetar. Aku ditampar oleh Tuhan sore ini. Aku sudah sangat lama tak bermesra dengan-Nya. Hatiku makin bergetar ketika kudengar lantunan ayat suci-Nya dari pengeras suara masjid di ujung hari ini.
“Rabbi ij’alnî muqîma ashsholâti wa min dzurriyyatî, Rabbanâ taqabbal du’â… Rabbanâ ighfirlî wa liwâlidayya wa lilmu’minîna yauma yaqûmu alhisâb…” (QS. Ibrahim, 40-41)


Rumah Sunnah, 20 10 2010

Monday, September 6, 2010

Sendhal Jepit Biru

Sendhal jepit biru
Sampeyanku mlaku
Sikil tengenku maju
Kang kiwa ya melu maju
Sikil lorone kudu padha lumaku

Ora mesti pener lumakuku
Kadhang kesingsal lumakuku
Kadhang ana becek ing dalanku
Tapi ora kena nesu
marang Kang Gawe Uripku
Kudu ditambah puji syukurku

Sendhal jepit biru
Sampeyanku mlaku
Ing bumi iki kang ayu
Golek sangu
Kanggo uripku
Ing kahuripan kang luwih ayu

Ora saka elek-ayune rupaku
Olehe ngukur baguse awakku
Nanging saka taqwaku
Maring Pangeranku
Mangka bakal kacukupan kapreluanku
Kagampangake urusanku

Muga sampurna imanku
Tentrem jiwaku
Diridloi atiku
Lan mlebu jannah'Ku'

Jum'at Kliwon
20082010

Kediamanku Kedamaianku, Kedamaianku Kediamanku?

Aku tak yakin di luar sana ada kediaman yang penuh kedamaian, maka aku tetap disini.
Aku pun -akan- tak yakin dengan kedamaian di tempat yang aku diami kini, maka aku harus kemana?

Kau harus segera pulang ke rumahKu
Dari dulu rumahKu penuh kedamaian
Sungguh kediaman yang penuh kedamaian
Kau saja yang tak pernah mengunjunginya
Padahal pintu rumahKu yang tak hanya satu
Slalu terbuka untukmu
Pulanglah ke rumahKu...

Rumah Sunnah,
02092010

Terang dalam Gelapnya

Sebelas Ramadlan pagi, Cipete sudah menawarkan kesibukan. Beberapa karpet sudah tergelar rapi di ruang tamu suatu rumah yang tak begitu luas namun juga tak sempit. Aku masih orang baru disini, meski ada beberapa orang yang kukenal. Di depan halaman rumah ada satu papan putih bertuliskan “Selamat Datang Peserta Pesantren Ramadlan Tunanetra”.

Pukul sepuluh pagi peserta Santram sudah berdatangan. Menyambut hadirnya, membantunya memasukkan sandal ke dalam kantong plastik, dan menuntunnya masuk ruangan. Ruang tamu itu sudah cukup padat. Sekitar empat puluh tunanetra sudah saling sapa, salam, dan bercakap. Tugasku adalah mendampingi mereka. Walau kelihatannya hanya memegang tangannya dan kemudian menuntunnya jika mereka ingin beranjak dari duduknya, yang seperti ini  justru membuat hatiku campur-aduk rasanya. Aku sangat canggung dan lebih sering bengong tanpa sadar.

Entah ada berapa pertanyaan yang tiba-tiba muncul di otakku, membutuhkan jawaban dari fikir dan hatiku. Karena baru kali ini aku berada di tengah-tengah komunitas tunanetra seperti ini. Dan anehnya, dan juga yang membuatku malu pada diriku sendiri adalah aku mual ketika harus menikmati makanan berbuka di dalam satu ruangan yang sama dengan mereka. Allahu rabbi... padahal mereka saudaraku!
Pesantren Ramadlan ini difokuskan pada pembelajaran Al-Qur’an Braille. Mulai dari mengenal huruf arab dengan sandi braille hingga makharijul huruf dan tajwid Al-Qur’an. Mereka benar-benar semangat untuk bisa membaca Al-Qur’an, pun dengan huruf braille. Bahkan ada yang sangat fasih dan indah lagunya ketika melantunkan kalam Allah.

Perlahan aku mulai masuk ke dalam dunia mereka, canggungku mulai hilang. Aku tak lagi takut hanya karena melihat sklera mata mereka. Aku tak lagi takut hanya karenamenjadi matanya ketika berjalan dengan menggandeng tangannya dan menuntun langkahnya.

Aku pun akhirnya turut sedikit mengerti tentang sejarah huruf braille. Sandi-sandi itu sedikit aku fahami. Titik 1 adalah huruf a, titik 1-2 adalah b, titik 1-4 adalah c, dan seterusnya. Titik 2-4 adalah huruf i, titik 2-3-4 adalah s, titik 1-3-4-5 adalah n, dan titik 1 adalah a. Begitu sandi untuk menulis “Isna”.

Tak hanya itu, banyak cerita yang aku dengar dari mereka, meskipun mereka tak tahu apakah air mata yang menetes di pipiku, atau senyum yang menyimpul, atau mendengarkan dengan kantuk, mereka hanya yakin satu hal bahwa mereka ‘didengar’.

Ayu, gadis seumuranku bercerita tentang terang dunia yang dulu dilihatnya hingga terang dalam gelap pandangan matanya saat ini. Dia mulai tak awas saat dia duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Berawal dari sakit mata, penglihatan tak jelas yang disangka miopi, hingga akhirnya dia hanya mampu membedakan terang dan gelap, hanya sedikit cahaya yang ditangkap pupil matanya. Sejenis ini mereka menyebutnya low vision. (hmm... jantungku sempat berdegup kencang ketika mendengar kisahnya ini, miopi dan kacamata minus. Na’udzubillahi min dzalik).

Bang Jaja adalah salah satu tunanetra low vision. Dia masih bisa membedakan terang dan gelap, siang dan malam. Dia bercerita bahwa organ matanya masih sangat bagus, matanya tak berfungsi utuh karena syaraf mata yang terputus. Kalaupun dia mau donor mata, matanya itu masih bisa difungsikan orang lain. Melihatnya sekilas seperti orang awas lainnya. Pernah suatu saat ketika dia pergi sendirian dan tidak memakai tongkat, Bang Jaja tak sengaja menabrak preman pasar dan karena dilihatnya seperti orang awas preman itu hampir saja menghabisi nyawanya dengan pisau.

Ada juga yang buta total, tak sedikitpun bayangan dari dunia nyata yang dapat diraba oleh retina mereka. Tapi mereka tetap melihat untuk terus berjalan, untuk terus mewujudkan impian. Diantara mereka ada yang berprofesi sebagai seorang guru di sebuah SLB ternama di Jakarta, ada yang sudah mengcumlaudekan pendidikan strata satunya, dan berbagai profesi lainnya yang tak jauh beda dengan orang awas lainnya.  Aku berulang kali bertepuk tangan dalam hati, gemuruh, sebuah apresiasi tinggi untuk mereka yang tetap berdiri dalam kondisi seperti itu.

Tentang tuan rumahnya, mereka adalah orang yang kaya, harta dan hatinya, baik sekali. Pasangan suami-istri itu mempunyai empat anak, dan sepertinya mereka sudah mengajarkan untuk senang berbagi dengan sesama kepada anak-anaknya sejak kecil.

Si pemilik rumah, Mpo’ Jah, mempunyai tiga adik yang kesemuanya tunanetra, hanya Mpo’ Jah yang dianugrahi penglihatan normal di antara saudara kandungnya. Waktu itu, keterangan dokter adalah karena ibu dan bapak dari Mpo’ Jah masih ada hubungan saudara. Dan ketika aku tanya kenapa, Mpo’ Jah hanya menjawab, “Kagak tahu, neng... pokoknya ya kagak cocok ajah darahnya. Gitu kata dokter, neng...”. Aku jadi ingin tahu jelasnya. Tuturnya lagi padaku, dia bersyukur mempunyai suami yang jugawelcome dengan sesama. Pelajaran yang dapat kuambil dari Mpo’ Jah adalah kebahagiaan ada ketika kita membagi kegembiraan dengan sesama. Satu lagi (ga’ penting amat sih), arsitektur rumahnya unik dan menarik, bisa jadi referensi. Haha.

Menjelang buka puasa, aku dan kawan-kawanku menyiapkan makanan berbuka untuk mereka. Ta’jil dengan bubur sum-sum, teh hangat, gorengan (bukan wajan) tempe mendoan, serta kurma. Pegang tangannya lalu bilang, “Bu, ini buat ta’jilnya”, makanan pun berpindah dari tanganku ke tangan mereka dengan teratur dan rapi.

Setelah menikmati menu ta’jil tadi, tugas selanjutnya adalah mengantar mereka bergantian mengambil wudlu. Kejadian lucunya, ketika mereka berjalan sendiri dan memang belum hafal medan, terkadang mereka tabrakan satu sama lain. Tawalah yang terdengar, bukan sebuah cercaan atau saling menyalahkan. Meluruskan shof sholat juga kami –aku dan kawan-kawan volounteer- yang mengaturnya. Setelah sholat maghrib, nasi pun jadi santapan. Nah, saat itulah perutku mual-mual bojes –mboten jelas-. Hm...

Menjelang tidur, ada satu te-en yang mengaji Al-Qur’an. Surat Yusuf yang dibacanya, dia hafal. Tartil sekali, sifat dan makhraj hurufnya sangat jelas dan benar. Dan aku jarang sekali mendengar orang mengaji sebagus ini di sekitar tempat tinggalku saat ini. Untung saja aku nyantri, jadi di tempat nyantren itu masih banyak kawan-kawanku yang membaca Al-Qur’an dengan menggunakan tajwidnya. Lain lagi dengan suatu komunitas yang sering aku temui di masjid kampus, kedengarannya sangat bagus tilawahnya, namun setelah diperhatikan dan didengarkan secara seksama, banyak sekali kesalahan. Terkadang yang harusnya dibaca satu alif jadi tiga alif, terkadang bacaan idzhar dibaca ikhfa’, dan sebagainya. Semoga saja kesalahan khofi, karena aku belum berani menegur yang salah dan khawatir bakal repot dengan orang yang kutegur nantinya.

Aku jadi ingat satu masa, ketika aku mulai berjilbab beneran dan nyantri di desa Kerjasan Kudus. Aku mempunyai satu guru ngaji yang indra penglihatannya tak berfungsi. Mbak Rofah. Ceritanya, ketika SD dulu beliau sakit mata dan panas tinggi yang akhirnya menyebabkan kedua matanya tak lagi melihat. Dan mulai saat itulah beliau menghafal Al-Qur’an sampai khatam dengan cara mendengar ayat per ayat yang dibacakan Ibunya. Subhanallah... maka ni’mat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?!

Juga ingat kenakalanku saat itu. Ketika nyetor hafalan di hadapan beliau, terkadang mataku melirik mushaf yang ada di depanku –yang sengaja aku buka- ketika akuplegak-pleguk hafalannya. Atau kadang membaca Al-Qur’an binnadzar dengancelele’an. Juga bercanda dengan temanku ketika masih antri ngaji. Kadang juga aku sengaja ngaji paling akhir, dan ketika sudah sepi antri aku lari-lari kecil masuk aula ngaji tanpa berjalan dengan lutut. Astaghfirullah... Padahal Kau tak pernah tak melihat dan tak pernah tak tahu, Tuhan...

Salah satunya adalah darimu, Mbak Rofah, aku belajar dan terus belajar tentang menerima dan keseriusan. Nyuwun pangapunten semua kenakalan dan kelicikanku waktu itu, nggih... Allah pasti menjagamu.

Hidup itu belajar, belajar itu hidup, hidup itu terus menerus, belajar itu terus menerus. Dari mereka, aku banyak mengambil pelajaran. Tentang keikhlasan, kesabaran, keseriusan, kekeluargaan, dan banyak lagi. Kalian lebih hebat daripada kami aku. Kalian hidup dalam kegelapan penglihatan, tapi aku yakin kalian menemukan celah menuju terang di hati kalian. Trima kasih, kawan... untuk pelajaran hidup kali ini. Bahwa hidup adalah saling merepotkan.

Aku harus kaya, kaya hati, dan semoga rizki pun melimpah hingga aku hidup terus bersyukur dan bahagia dan berbagi kebahagiaan. Ketika aku tak lagi dibutuhkan maka aku mati, sebelum aku mati aku harus berarti. Aku akan terus mengisi gelas kacaku, walau tak sampai penuh aku mengisinya semoga penuh arti, dan tak akan membiarkan gelas kacaku itu pecah berkeping-keping. Semoga...

Ya Bashir... iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin...

Rumah sunnah,
Sugeng enjang, 15091431.

Seperti Itu… Sebisaku Mencintaimu

            Aku menyamankan diri di kursi yang cukup strategis ini. Kubiarkan diriku turut melaju bersama kereta menuju tempat yang sudah empat tahun tak kusapa, juga kunjungi. Ku keluarkan sebuah novel setebal 654 halaman dari tasku. Kubuka halaman yang sudah kubatasi dengan foto usang bergambar wanita cantik, Amah, begitulah aku memanggil ibuku. Kupandangi sejenak sketsa gambar teduh itu dan berucap lirih, “ Aku pulang, Mah”. Seratus persen sadarku, aku bahagia.
            Amah, wanita tangguh yang selalu menguatkan aku dan ayahku, Abah. Begitu lambat laun aku menyadarinya. Kurang lebih 1475 hari yang lalu Abah pulang memenuhi janjinya pada Yang Maha Hidup setelah dua tahun sebelumnya berusaha damai dan tenang dengan sakitnya. Abah yang baik dan bijaksana selalu mengajariku bagaimana menjawab soal hidup dengan mudah, pun kami tahu bahwa hidup ini bukan matematika yang butuh rumus pasti untuk memecahkan jawabannya. Ah… terlalu banyak kisah manisku dengannya, ingatanku cukup penuh dengan dokumen penting kenangan bersamanya.
            Seorang ibu sebaya dengan Amah duduk di sebelahku. Kereta terus melaju. Kutoleh sebentar ibu itu, aku kembali membaca, kutoleh lagi, membaca lagi, kutoleh lagi, membaca lagi, dan sebenarnya aku tak tahu mengapa aku bertingkah seperti ini. Hingga akhirnya, entah sampai pada tolehan ke berapa dan pada menit ke berapa sejak aku bersebelahan dengannya, dia pun menyapaku lebih dulu.
            “Kamu kenapa, Nak? Dari tadi Ibu perhatikan, diam-diam kamu mencuri cantikku?”. Suaranya serak, wajahnya makin cantik saja ketika senyumnya mengembang. Amah pasti tak kalah cantiknya dengan ibu narsis ini.
            “Oh… Iya, maaf… Saya ingat ibu Saya”. Jawabku seramah mungkin. Kulepas topi yang menutup kepalaku. Yes… Ibu itu tersenyum lagi, artinya aku tak salah bertutur.
            “Sudah berapa lama kamu ndak bertemu ibumu? Dan sekarang kamu mau pulang?”. Tanyanya kemudian seolah tahu tujuanku berada di kereta ini. Aku hanya menyimpul senyum tak tahu harus menjawab apa dan takut diekori pertanyaan lain.
            Lagi-lagi ibu itu hanya tersenyum, “Siapa namamu?”
            “Azka”. Aku menerawang, “Kaka…”
            Aku jadi ingat suatu waktu, saat aku sudah mulai lancar mengaji Al-Qur’an, kalau tak salah ingat usiaku tujuh tahun. Sepulang dari tempat favoritku setiap sore, dimana aku sering sekali ngumpetin sandal teman, lari-lari dikejar guru ngajiku, menghafal surat pendek sebagai hukuman atas kenakalan wajarnya anak kecil. Tempat itu punya nama Taman Pendidikan Al-Qur’an.
            “Kaka… Ka.. Kaka sayaaang…”. Panggil Amah penuh sayang sore itu.
            “Iya, Mah…” Jawab Kaka kecil masih lengkap dengan kostum ngaji warna ijo.
            “Tadi Lek Ayi kesini lho… sama Dek Rafa, tapi buru-buru pulang takut kemaleman nyampe rumahnya”. Kata Amah ketika kucium tangannya kemudian peciku dilepasnya dan keningku pun dicium.
            “Abah mana?”. Tanyaku.
            “Abah di rumah Pak Amin, syukuran kasih nama anaknya”. Jawab Amah.
            Aku beranjak menuju kamar. Sebelum jauh dari Amah, badanku berbalik. Mata Amah menyipit dan keningnya mengernyit.
            “Mah, kapan Kaka punya adik?”. Tanyaku penuh harap.
            Sebenarnya aku melihat ekspresi kaget di wajahnya saat itu, tapi aku belum bisa menangkap alasannya. Amah berjalan medekatiku, memegang pundakku, dan berdiri dengan lututnya, memandangiku, “Dek Rafa ‘kan adiknya Kaka…”
            “Tapi teman-teman Kaka punya adik beneran, Mah”. Sanggahku. Jika sekarang kuedit ucapanku itu, maksud adik beneran adalah adik kandung.
            “Dek Rafa ‘kan udah jadi adik beneran Kaka juga. Ganti baju dulu ya, sayang…”. Jawab Amah lalu pergi meninggalkanku.
            Kaka kecil beranjak dewasa. Ketika aku menjadi murid kelas 2 SMP aku baru tahu bahwa aku tak akan mempunyai adik beneran karena rahim Amah telah diangkat tiga bulan setelah melahirkanku. Aku benar-benar baru tahu sebab dan akibatnya saat itu.
            Aku pernah protes pada Amah kenapa aku dipanggil Kaka, seperti menumbuhkan harapan padaku untuk mempunyai seorang adik yang nantinya memanggilku Kakak. Alasanku, banyak teman-temanku yang bilang aku ini anak manja karena tak punya adik. Sangat sederhana penolakanku atas status anak tunggal, dan aku sendiri yang memperrumit. Aku puasa ngomong seminggu setelah itu, Abah akhirnya mendekatiku perlahan dan memahamkanku. Aku telat menyadari, pasti Amah lebih sakit daripada aku. Aku terlalu egois dari dulu.
Mah… Maafin Kaka ya…
            Teman dudukku mulai menikmati timangan kereta, lelap. Aku kembali pada bacaanku. Sesekali melirik wajah yang ada di kertas foto itu, sesekali melayangkan pandang ke luar jendela, sesekali mengingat masa lalu yang masih sangat jelas rekamannya.
            Abah mulai sakit-sakitan sejak aku kelas 2 SMA. Tiap pagi sebelum berangkat sekolah aku menemani Abah untuk sarapan sinar matahari di teras rumah. Sepuluh menit aku bisa sampai sekolah dengan onthel andalanku. Siangnya, aku kembali menemani Abah mengingat a-b-c dan a-ba-ta. Aku tak tahu tepat apa nama penyakit Abah, melihatnya tak ingat huruf saja aku tak tega. Pernah juga empat hari Abah lupa siapa aku dan Amah. Seakan memorinya terhapus, dan kami berusaha membantunya ingat kembali.
            Abah sampai pada janjinya untuk kembali, sehari setelah ujian kelulusanku di SMA. Aku sempat off beberapa hari setelah kepergiannya. Amah jatuh sakit. Bersyukurnya kami karena kami memiliki saudara, teman, dan tetangga yang begitu baik dan memperhatikan kami. Kondisi kami pun perlahan membaik kembali.
            Amah sering menyendiri di teras belakang rumah sejak itu. Lebih sering menutup rambutnya dengan sorban putih Abah. Menghabiskan senja dengan membaca Al-Qur’an di sana.
            Inilah awal perang batinku yang tak semua orang tahu dan mengerti. Amah menuntutku untuk menjadi seperti Abah, “Kaka harus begini… ga boleh begitu… ingat Abah dulu seperti ini… bukan seperti itu…”, begitu tuturnya. Bayangan Abah dihadirkannya di jiwaku. Aku didikte. Amah jadi sering marah dan lebih keras saat menegurku. Abah, Abah, dan Abah. Dan aku tak mau menerima. Aku masih tetap terlalu egois.
            Aku mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan studi lepas SMA di luar kota. Tapi tak ku dapatkan ijin pergi dari rumah. “Kaka harus tinggal di rumah”. Begitu tegas Amah. Saat itu pun aku masih saja egois, beasiswa itu tetap kupenuhi dengan pertimbangan keluarga Lek Ayi -adik beneran Amah- menjadi tetangga dekatku. Aku tetap pergi, dan Amah marah besar.
            Empat bulan berada di perantauan, setiap Amah menghubungiku via telepon yang kudengar hanya luapan amarah dan all about Abah. Akhirnya kuputuskan untuk tak mau dihubungi dan tak juga menghubungi.
            Kulihat teman perjalananku ini sudah sangat lelap. Setengah perjalanan lagi aku sampai di stasiun terakhir. Hapeku berderit. 1 message received.
Azka Otoooong… … sori g nganter kmu td n sori jg br krm sms.slmt jln y..aq sngat b’syukur kenl kmu.kmu bacaan unik yg tak mudah dmengerti.it’s really 100% my pleasure..^_^.. slm bwt rafa.amah jg,,aq yakin kmu ga perlu adu emosi.hehe..overall,gw suka gaya loe,bro!!
            Oza, gadis baik, teman tololku. Setahun aku berada jauh dari rumah, aku bertemu dengannya dan akrab juga akhirnya. Aku ceritakan tentangku, Amah, Abah, adik sepupuku Rafa yang lebih muda lima tahun dariku dan yang aku paksa menjadi adik beneranku, tentang kenakalan masa kecilku, bahkan desain mimpi-mimpi masa depanku. Gadis cerdas ini punya banyak ide gila yang jarang mengecewakanku.
            Enam belas bulan di kota rantau aku mendapat kerja sampingan. Ide cemerlang Oza episode ini adalah memotong tiga per empat gajiku untuk dikirim ke rekening tabungan Amah. Beberapa bulan Amah tak menyadarinya, tapi akhirnya Amah tahu juga -entah darimana, dari siapa- aku lah pelakunya. Aku tak mau tahu dan tak peduli apa reaksi Amah. Yang sedikit melegakanku, Amah tak marah. Buktinya, tiap bulan memberi uang saku pada Rafa sambil berkata, “Ini dari Abangmu, bilang terima kasih ya…”. Begitu cerita Rafa ketika kami bertemu di dunia maya.
Ide selanjutnya adalah… Oza memintaku untuk menjadikan Rafa tukang bunga dua kali setahun. Jadi, tiap lebaran dan ulang tahun Amah, Rafa memetik mawar -yang untungnya selalu tumbuh- di pekarangan rumahku kemudian memberikannya pada Amah.
“Budhe, ini buat Budhe, dari jagoan Budhe”. Lapornya sambil menyerahkan setangkai mawar hasil petik dari pekarangan rumah sendiri, bukan dari toko bunga.
“Kamu ini ada-ada aja, Nang”. Jawab Amah tak begitu peduli.
Entah Amah menyadari atau tidak, Rafa hanya mempersembahkan setangkai mawar pada dua moment yang kurasa penting dalam setahun. Rafa hanya melapor untuk dan dari siapa bunga itu, tanpa menyebut jelas nama jagoan yang dimaksud. Selama aku rajin mengirim komik pesanannya, rahasia ini dijamin aman.
Rafa juga sering mengajukan pembelaan setiap namaku dihakimi di tengah keluarga besarku.
“Bang Kaka baik kok… dia saja yang malu dibilang baik”. Begitu belanya.
Mungkin benar, aku sudah dicap tidak baik oleh keluarga besar Abah dan Amah. Karena hingga saat ini pun aku tak mau menghubungi Amah dan keluarga yang lain. Maksimal, aku hanya menitip salam lewat Rafa ketika kami mengobrol di Yahoo Messenger. Toh, dunia ini tak kurang teknologi untuk berkomunikasi jarak jauh. Aku hanya mengiyakan hatiku bahwa aku masih dan akan selalu menyayangi Amah dan keluargaku, hanya mungkin caraku yang tak bisa diterima.
Kereta ini terus melaju tanpa basa-basi. Mataku mulai berat, mulai ngantuk, tapi aku tak mau melewatkan perjalanan ini begitu saja. Walau di luar jendela cahaya rumah penduduk tak termakan gelap, aku tetap menikmatinya.
“Kamu ndak tidur, Nak?”. Tanya ibu sebelahku. Entah siapa namanya, hingga kami berpisah pun aku lupa tak bertanya nama. Lagi-lagi Aku menjawabnya dengan senyuman.
“Eheheheheh… kamu lucu, siapa namamu tadi? Zaka.. Aka…”.
“Azka, Bu… Kaka”. Aku membenarkan. Ibu itu terkekeh lagi.
Amah, sudah lama aku tak melihat senyummu, gambar yang ada di tanganku kini pun tak bisa memuaskanku. Oza, Rafa, tengs udah membantuku meredakan perang batinku.

Rafachakep: Bang.. Budhe skrg sering crita tntg Abang. Senyum2 sndiri, tiba2 nangis. Pokokny, kalo Rafa k rmh Abang skrg sering didongengin kisah anak yg kabur. Hehe kapan pulang Bang?
Azka: ntar nunggu abang skses n lu2s dl J
Rafachakep: yaaahh.. kpn sksesny?Abang tu kbangeten. Lebaran jg ga plg, nelf keek kalo ga mo pulg, dikira ga punya dosa apah?! Dikutuk budhe jd kodok br tao rasa loh
            Azka: SSsssstt.. dah ga’sah ribut. Aku pasti pulang kok
Begitu percakapanku dengan rafa di YM suatu saat pada tahun ke tiga bangku perkuliahanku. Entah apa nama dinding yang menghalagiku waktu itu.
            Kutangkupkan tanganku menutup wajahku, merasakan hangat air di ujung-ujung mataku. Aku sudah sangat lama menghalangi diri, membiarkan hatiku beku, tak secelah pun kubuka hati dan diriku untuk sedikit melakukan yang diharapkan Amah dan keluarga. Allahku… jangan biarkan hatiku kembali beku. Rabbi ighfirliy…
            “Udah nyampe Kendal, turun di Tawang, Le?”. Logat jawa ibu itu membuyarkan lamunku.
            “Iya, Bu”. Jawabku tetap singkat.
            “Nanti Ibu dijemput sama anak Ibu yang nomer tiga. Dulu waktu masih ada bapaknya anak-anak, Ibu sama Bapak langsung naik taksi dua puluh menit nyampe rumah.. .. …”. Ibu itu mengakrabkan suasana di ujung perjalanan dengan bercerita tentang sejarah pribadinya.
            “Mampir kalau mau”. Tawarnya.
            “Makasih, Bu… Ibu saya juga udah menunggu saya pastinya”. Tolakku halus dengan alasan.
            Matahari belum sepenuhnya membulat. Aku langkahkan kakiku menuju mushola pinggir stasiun untuk sholat subuh sebelum melanjutkan perjalanan dari stasiun menuju bukit rinduku.
            Aku tutupi kepalaku dengan topi hitam bertulis namaku di sebelah kanan. Kugendong tas ranselku dan kutarik koper besar. Masih ada barang-barangku yang sengaja aku tinggal di kota rantau, Oza yang akan mengirimkannya nanti, semoga dia penuhi janjinya.
            Aku naiki bis antar kota yang akan mengantarkanku ke kotaku. Strategis lagi, Aku duduk di dekat jendela. Koperku semoga aman di bagasi bis. Kupeluk ranselku yang ternyata berat juga. Kukeluarkan hape dari kantong jaketku.
Ojeng, krg lbh 1.5jam lg ak nyampe 7an.skrg dh d bis k kotaku.Py,kpn arep knalan karo Rafa?
            (Delivered to: Oza. Date and time: 28-Jun-2010. 05:47:59)
            Slamat jg dkau..ga usah mksa aq nyampe rmhmu or brg2mu ga jd q krm?!hehe
            (Sender: Oza. Sent: 28-Jun-2010. 05:50:17)
                Okeeeee….. pray4me :)
            (Delivered to: Oza. Date and time: 28-Jun-2010. 05:52:04)
            Bis ini meluncur ugal-ugalan, sama sekali tak ada nikmatnya. Kupasang headset di telingaku. Ingin tidur tapi sangat tak nyaman. Hanya memejamkan mata sambil menikmati lagu-lagu yang mungkin sudah bosan menemaniku, untung mereka ga bisa demo.
            Lebih dari dua puluh lagu menemani lelahku. Aku sudah ada di pinggir jalan, turun dari bis setan itu. Satu jalan lagi. Aku masuk salah satu angkutan pedesaan yang siap melaju sampai ujung desa. Pukul Sembilan kurang lima belas menit pagi.
            Aku merasa paling tampan di tengah ibu-ibu rumah tangga yang -mungkin- hendak ke pasar desa. Para penumpang membicarakan Pilkades yang akan diselenggarakan minggu depan, ada calon yang tumben-tumben ramah pada penduduk desa dan bagi-bagi sembako, ada juga yang bagi-bagi amplop, begitu inti yang kutangkap dari perbincangan ibu-ibu ini.
            “Kiri, Mas..”. Begitu umumnya pinta penumpang agar mobil umum ini berhenti. Tepat di depan pemakaman umum Angkudes ini berhenti. Tak cukup ribet aku turun karena aku duduk di kursi dekat pintu, jadi mudah saja aku keluar dari himpitan ibu-ibu ini. Aku pinggirkan koperku lalu memberikan dua ribuan pada supir.
            “Suwun, Mas”. Kataku
            “Kaka??!!”  cengang supir Angkudes itu.
            Aku pandangi lagi dan pelajari wajah supir yang mengenal namaku dan mungkin mengenal betul siapa penyandang nama Kaka.
            “Sekedap nggih, Bu”. Pintanya pada penumpang di belakang kemudinya.
            “Ka!!” sapanya lagi setelah mensejajari tubuhku di pinggir kiri jalan.
            “Masya Allah… Mas Lutfi!!” seruku.
            Kami tertawa dan saling peluk sesaat. Ternyata ada perasaan rindu yang tiba-tiba hadir di saat pertemuan. Seperti saat ini. Kakak kelasku di bangku sekolah dasar ini masih mengenalku, dan masih sangat ramah serta sederhana, itu yang terlihat dari paras wajahnya.
            “Sampeyan harus banyak cerita, Ka… Sampeyan dolan lah ning omahku nanti. Aku nyambut gawe dhisik, langgananku iki”. Dia tertawa kecil.
            “Iya, Mas.. insya Allah.. nanti aku ta’dolan”. Aku mengiyakan.
            Angkudes itu melaju lagi. Sepertinya aku jadi obrolan pengganti Pilkades di Angkudes Mas Lutfi itu. Sayup-sayup kudengar suara seorang Ibu sebelum Mas Lutfi tancap gas, “Kuwi Kaka putrane Abah, tho?!”
            Aku mampir di warung samping pemakaman. Setelah mengobrol sebentar dengan Lek Ni, pemilik warung, tentang “Kaka menghilang selama empat tahun, dan hari ini pulang”, Aku mohon ijin numpang ke kamar mandi dan menitipkan koper serta tas ranselku. Topi yang dari tadi menjadi tutup kepalaku kini aku simpan di tas ranselku, sebagai gantinya aku pakai peci putih punya Abah yang memang menjadi milikku empat tahun terakhir ini.
            Kuayunkan langkah memasuki tanah luas. pohon kamboja, rumput liar, dan batu nisan menjadi ciri khas tanah ini. Tempat ini tak jauh beda dengan terakhir kali aku mengunjungi Abah, hanya lebih banyak batu nisan baru nampaknya. Mataku berair deras menuju pusara Abah.
            Aku sudah duduk di samping pusara Abah. Amah dan keluarga sepertinya rajin mengunjungi Abah, sekeliling makamnya bersih tanpa rumput liar yang tumbuh.
            Abah… Maafkan Kaka karena sudah sangat lama tak mengunjungimu.
            Aku masih tersedu, merasakan kehadiran lelaki tuaku. Seolah bisa mendengar, aku terus bercerita bagaimana aku, kenapa aku, dan inilah aku, aku terus bercerita ngalor-ngidul. Kutenangkan hati dan diriku, mulai melafadzkan dzikir dan doa yang dulu diajarkannya, dan yang pernah aku ajarkan lagi padanya saat lupanya.
            Ritual doaku selesai. Aku masih ingin berlama di tempat ini. Ingin merasakan peluk Abah, tapi itu tak mungkin. Dan masih ada tubuh yang masih bisa ku peluk, Amah menungguku, dari dulu. Aku beranjak. Abah… Amah adalah wanita hebatmu.
            Aku keluar dari pemakaman, mohon pamit pada Lek Ni dan meminta satu ojek mengantarku ke surga duniaku. Mungkin dari ibu-ibu yang aku temui di Angkudes tadi, info kedatanganku sudah tersebar hingga ujung desa. Pak Ojek ini bercerita tentang perkembangan desa empat tahun terakhir.
Dan sampailah aku di depan pekarangan rumahku. Ternyata benar, kabar kedatanganku pun sampai di telinga Amah, wanita cantik dengan sorban putih yang menutup rambutnya itu tengah berdiri di teras rumah. Aku memandanginya dari jauh, hatiku bergemuruh, entah perasaan apa ini.
“Abang..!!!!”. Seorang pemuda tampan menghampiriku, menyambutku dengan senyum spesialnya.
Wis gede kamu, Fa”. Kuacak rambut tebal Rafa. Kupeluk awak yang lebih gemuk dariku.
Kutinggalkan koper dan ranselku biar Rafa yang mengurus. Aku melangkah maju ke rumah, di pekarangan kusempatkan memetik mawar yang sejenis dengan yang sering dipetik Rafa, karena memang hanya ada satu jenis mawar di taman depan rumah ini.
Wanita dihadapanku kini adalah ibuku, yang tak pernah minta ganti rugi atas segala pengorbanan yang telah diberikan padaku, yang tak pernah juga mencap aku sebagai anak durhaka, yang selalu memaafkan kesalahanku sebelum aku meminta, yang selalu mendoakanku, yang selalu… yang selalu… yang selalu…
Entah sudah berapa tetes air menetes dari matanya. Kami berhadapan cukup lama. Rindu kami bertemu. Entah sudah berapa bilangan jumlah rindu ini, kami hanya membisu dalam haru.
Diraihnya mawar yang kugenggam, diciumnya mawar itu.
“Amah…” suaraku lirih.
Tubuhku sudah dipeluk erat, dihujani air mata kasih dan sayangnya, diciuminya wajahku, dipegangi kepalaku, diusap rambutku hingga tak karuan posisi peciku, dipandanginya mataku, dan terus mengalir air dari matanya. Aku masih kaku berdiri.
Kuraih tangan kanannya, kucium punggung telapaknya, mataku basah, aku terisak. Maafkan aku, Mah… membiarkan hatimu disesaki rindu. Aku tak mampu bersuara. Hanya aku dan Amah yang tahu bahasa apa yang ada kini.
Tubuh yang penuh dosa ini kembali dipeluknya.
Kulingkarkan kedua tanganku di tubuhnya yang kecil namun kuat.
Erat,
Aku tak mau melepas ataupun terlepas lagi.


Ibuku… beginilah aku dengan segala caraku mencintaimu.
Aku yakin satu hal, Kau menyayangiku lebih dari aku menyayangimu.
Hanya aku yang belum seutuhnya mengerti caramu…

Kota Penuh Impian,
11 Jumadal Akhirah 1431
25 Mei 2010
03.05 we-i-be