Wednesday, October 27, 2010

Kosongku Penuh

Bangun siang lagi dan memang setiap hari. Rumah kos ini sudah sepi tak terdengar gaduh penghuninya. Dengan delapan puluh persen kemalasan kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, membasuh muka, tangan, mengusap rambut, dan membasuh kakiku dengan air yang berhasil membuat kantukku hilang. Sekenanya. Kemudian kuganti kaos oblongku dengan koko putih yang sudah seminggu tak kucuci. Dua raka’at subuh.
      Perlahan kubuka jendela kamar, keramaian anak-anak SD belakang kos ini melukiskan kedamaian. Sejenak kupandangi ulah mereka, kenakalan anak-anak yang wajar. Seperti dulu aku dan kawan-kawanku yang selalu berlari mengejar sesuatu. Hobi berlari waktu kecil itu berlanjut hingga saat ini. Aku masih suka lari.
      Pukul tujuh lebih sepuluh menit. Kuambil kamera Canon 50d, kuabadikan gambar sepasang burung yang memutari Merah Putih di ujung tiang tiga meter. Good angel.
 Segelas kopi dan sebatang rokok, sarapanku seperti biasa sebelum berangkat ngantor. Kukalungkan kamera andalanku di leher, meninggalkan kamar 4X5 meter yang menjadi tempat penyimpanan ide-ide dan hasil usilku.
      Di pekarangan rumah kos, Bu Fat, Si pemilik rumah tengah asyik dengan kegiatan rutin paginya, bermain di taman hijau miliknya. Mataku usil, jepretan kedua hari ini, kucuri gambar Bu Fat yang sedang memotong daun kering di salah satu tanaman hiasnya. Satu detik saja.
      “Selamat pagi, Bu” sapaku.
      “Nak Ubay, berangkat sekarang?” jawabnya sambil mengusapkan telapak tangannya pada baju panjang yang dipakainya. Sudah tahu karena kebiasaan bahwa aku akan mencium tangannya.
      “Iya… saya berangkat dulu, Bu.” pamitku sambil mengulurkan tangan.
      “Hati-hati ya, Nak!” tangan kananku disambut tangan kanannya dan diusapnya rambutku dengan tangan kirinya.
***
Sudah dua tahun aku bekerja di galeri ini. Sebuah galeri foto milik seorang gadis cerdas, baik, dan cantik. Salah satunya mungkin karena gadis itu, Rosyada, aku masih bertahan di tempat ini.
“Bay, loe dicari Mbak Oca” kata Ari, teman kerjaku.
“Ngapain?”
“Gambar yang kemarin loe kasih ke Mbak Oca ditawar mahal, tapi nggak dikasih sama Mbak Oca, dia mau gambar loe itu diikutsertakan di pameran gede minggu depan. Loe ke ruangan Mbak Oca aja deh!”  jelas Ari.
Kuayun langkah meninggalkan meja kerjaku, langkah ketiga aku berhenti dan berbalik, kutoleh kameraku yang sudah kutaruh di atas meja tadi. Aku kembali mengalungkan perekam cerita visual itu dan meneruskan langkahku.
“Mbak nyari saya?” tanyaku setelah kuketuk pintu ruang pribadi pemilik galeri dan dipersilakannya  aku untuk masuk.
“Oh, Ubay… Iya, duduk.” jawabnya tegas dan menarik. Makhluk ini memang sudah menarik perhatianku sejak dulu.
“Ini…” dia menunjukkan padaku gambar sunset hasil usilku beberapa hari lalu. “Kamu tahu tanggapan Saya atas gambar ini?” lanjutnya.
“Tidak.” jawabku singkat.
“Menarik. Kamu tahu kenapa?”
“Tidak.”
“Gambar ini punya cerita yang beda dengan gambar sejenisnya.” wajahnya berbinar seperti orang lapar yang menemukan makanan. Aku hanya sedikit mengernyitkan dahi.
“Kenapa diam saja, Bay?” tanyanya lagi.
“Lalu saya harus ngomong apa, Mbak?” godaku sambil tersenyum.
“Gambar ini sketsa keindahan, saya suka. Kemarin ada yang minta gambar ini dengan harga tinggi, tapi saya menolak. Saya ingin gambar ini ada di pameran foto nasional minggu depan, dari galeri kita, tentunya dengan nama kamu. Saya yakin banyak yang suka. Gimana menurutmu?” jelas gadis yang tiga tahun lebih muda dariku itu, sapaan Mbak adalah suatu penghormatan untuk atasan kerjaku.
Aku berfikir sejenak, merasa aneh sendiri dengan hasil usilku itu.
“Terserah Mbak.” jawabku singkat.
“Ok.. Kita sepakat, gambar ini ikut pameran minggu depan.” dia tersenyum puas.
Aku beranjak dari dudukku. Di ujung pintu, sebelum kutarik tubuhku keluar ruangan, kuarahkan bidikanku pada wajah menarik itu. Klik.
“Kamu…?!” wajah itu tercengang.
“Maaf, karena kamu juga sketsa keindahan.” jawabku seenaknya, kemudian meninggalkan wajah kaget itu. Aku tersenyum, hatiku berdesir.
Kulanjutkan pekerjaanku, berkutat seharian dengan komputer, pensil, gambar, kamera. Sesekali kuletakkan kepalaku di atas meja, kupejamkan mataku yang terasa berat. Walau kerap kali aku mendapat teguran dari atasan idolaku, hal itu bukanlah suatu masalah besar karena hasil kerjaku selalu tak mengecewakannya. Aku masih ada di titik aman.
Pukul tiga sore, aku tak bisa melawan kantuk ini. Semalam aku baru tidur ketika kudengar adzan subuh dari surau samping kos. Kusandarkan kepalaku di punggung kursi dan mataku mulai terpejam.
***
“Bay… Bay… bangun, udah sepi ni kantor. Jam lima, boy!” Ari membangunkanku.
Kutelungkupkan kedua telapak tanganku pada wajah, panas. Kuberesi bawaanku dan siap meninggalkan tempat ini.
Aku berjalan menuju masjid pinggir kota dekat kantorku. Merupakan satu kebiasaanku juga adalah sengaja meninggalkan sholat dzuhur dan menggantinya saat ashar.
Di teras masjid kutemui beberapa orang yang juga hendak sholat. Kuambil air wudlu dan ikut berjama’ah dengan orang-orang yang aku lihat tadi. Disebelahku, anak seumuran kelas dua SD juga ikut sholat berjama’ah.
Usai sholat ashar aku lanjutkan empat raka’at dzuhur yang kutinggal. Aku rebahkan tubuhku setelah sholat, kulayangkan pikiranku. Tiba-tiba anak kecil yang sholat disampingku tadi mengahampiriku.
“Kak, Kakak sholat lagi?” tanpa ba-bi-bu anak kecil itu mengkritisiku.
“Iya.” jawabku pendek, mungkin lebih tepatnya aku malu jika harus menjawab sejujurnya.
“Kenapa?” anak kecil itu ternyata tak puas dengan jawaban singkatku.
Nggak sholat dzuhur tadi.” jawabku.
Emang kenapa? ‘kan nggak boleh ninggalin sholat, Kak.” anak itu lalu pergi meninggalkan tanya di benakku.
Aku perhatikan anak itu, kini dia duduk bersama seorang laki-laki setengah baya. Dibukanya Al-Qur’an yang sudah nampak usang, dan lirih kudengar suaranya mengaji di hadapan laki-laki tua itu. Tak berselang lama setelah mengakhiri bacaan Al-Qur’annya, dia memberikan sebuah buku kepada laki-laki yang ada di dekatnya itu.
“Kakek, kemarin Amin udah ngafalin bacaan I’tidal. Sekarang ngafalin apa, Kek?” tanya anak kecil itu pada seseorang yang ia panggil kakek.
“Sekarang menghafal bacaan sujud, ya… artinya juga dibaca dan difahami.” pinta si Kakek.
Tanganku yang dari tadi kujadikan tumpuan badanku kini bergetar. Anak kecil itu sedang belajar sholat. Sama seperti aku dulu yang juga belajar sholat dengan ayahku. Jantungku seketika berdegup kencang. Ada sesuatu yang tiba-tiba memenuhi ruang fikirku. Aku tak mampu lari.
Aku dibawa mundur ke belakang oleh ingatan, dihadirkan pada rentetan masa yang terasa sangat cepat berlalu. Kemarin, kemarin lusa, dulu.
Kepalaku berat, mataku berkunang-kunang. Aku disindir oleh kejadian yang baru saja kusaksikan itu. Aku malu pada anak kecil yang menegurku tadi. Lalu, bagaimana aku harus malu kepada Pemilik anak kecil itu yang juga Pemilikku?
Selama ini aku selalu ingat akan sholat. Aku pasti menggantinya dengan segera jika ada yang aku tinggalkan, seperti sholat dzuhur yang aku tinggal tadi. Namun, yang baru aku sadari adalah aku hanya menggerakkan anggota tubuhku untuk menggugurkan kewajiban sholatku. Berdiri, ruku’, sujud, duduk. Gerakan-gerakan itu cukup menjadi jawaban ketika aku ditanya, “Sudah sholat?”, tanpa pikir panjang aku bisa menjawab “Sudah”. Aku hanya melafadzkan bacaan-bacaan sholat yang sejak kecil sudah kuhafal tanpa meresapi maknanya.
Tuhan, aku sering mencuri keindahan ciptaan-Mu tanpa mengerti apa yang tersirat, bahwa Kaulah Yang Maha Indah. Aku sering menikmati hasil potretanku tanpa memuji Pencipta objek potretanku. Kedamaian yang sering kurasakan itu adalah dari-Mu, dan aku tak menyadarinya. Hatiku sering berdesir ketika bertemu gadis pujaanku, aku tak pernah mendesirkan hatiku untuk-Mu. Aku malu dengan nama yang diberikan ayahku: Ubaidillah. Aku hamba-Mu yang sangat kecil. Wujud penghambaanku tak bernilai.
Sholatku hampa. Hatiku kosong.
“Sholat kuwi kudu tenanan. Aja guyon karo koncone wektu sholat. Madep Gusti Allah kok guyon. Sholat kuwi bentuk syukur marang Gusti Allah, nyuwuna karo Gusti Allah. Allah kuwi Maha Kuasa. Syukur, ndonga, nyuwuna ngapura. Kuwi, Le… Elinga pesenku iki.” Sepuluh tahun yang lalu, begitu pesan lelaki tuaku sebelum meninggalkanku.
Aku gemetar. Aku ditampar oleh Tuhan sore ini. Aku sudah sangat lama tak bermesra dengan-Nya. Hatiku makin bergetar ketika kudengar lantunan ayat suci-Nya dari pengeras suara masjid di ujung hari ini.
“Rabbi ij’alnî muqîma ashsholâti wa min dzurriyyatî, Rabbanâ taqabbal du’â… Rabbanâ ighfirlî wa liwâlidayya wa lilmu’minîna yauma yaqûmu alhisâb…” (QS. Ibrahim, 40-41)


Rumah Sunnah, 20 10 2010