Friday, January 21, 2011

Seribu, Dua Puluh

Baru saja aku mengirim sms pada ibuku, kemudian datang keinginan untuk mengurai memori yang pernah terjadi padaku ke dalam tulisan. Aku tak tahu -tepat- berapa gigabyte memori yang terekam di otakku. Beberapa file tersimpan secara rapi sehingga aku bisa memutarnya kapan aku mau.

Hitungan hari, hari ini tepat seribu hari Bapak pergi. Itu artinya, sudah seribu hari aku tak menemukan wujudnya dalam nyata. Perasaan rindu -ingin bertemu- yang sering kali datang, mengajak sadarku untuk kembali menyusuri kejadian-kejadian yang telah kualami dengannya. Lalu keinginan berada di tempat dimana kita pernah bersama, hingga cara terakhir yang kulakukan adalah menghadirkannya lagi dalam kehidupanku. Karena aku hanya bisa mencoba berinteraksi dengannya melalui doa.

Masih sangat jelas dalam ingatanku, Jum’at 25 April 2008, Bapak -harus- pulang untuk menemui-Nya, Dia merindukannya.

Dua minggu sebelum Bapak pergi, aku nyuwun pangestu agar sukses di ujian kelulusan. Bapak bercerita banyak; tentang masa kecilnya, tentang masa kecilku, tentang Ibu, tentangnya ‘waktu itu’. Sesekali kulihat matanya berkaca-kaca, tersenyum, dan memegang kepalaku. Ketika aku pamit untuk kembali ke asrama (tempatku numpang makan dan tidur), sangu -terakhir-nya adalah, “Sing pinter...”.

Kamis 24 April 2008, selesai UAN, teman-temanku banyak yang pulang, sekedar melaporkan hasil ujiannya, dan meminta restu lagi pada orang tuanya untuk ujian madrasah hari Sabtu kemudian. Aku juga ingin pulang waktu itu, tapi aturan asrama menghalangi keinginanku; kalau pulang harus dijemput keluarga. Pikir pendekku waktu itu, tidak ada yang bisa menjemputku. Selesai masalahnya, aku tak bisa pulang hari itu juga.

Malam jum’at setelah tahlilan dan dziba’an, aku mulai merasakan kesunyian asrama, sepi. Tiba-tiba aku menangis layaknya anak kecil yang merindukan keluarganya, rinduku membuncah, makin bertambah perasaan rinduku ketika aku mencoba mengabaikannya. Akhirnya aku lelap tidur karena lelah nangis. –hehe...

Jum’at pagi, Lek Kik (Musyq-red) mengajakku pulang, alasannya -yang disampaikan padaku- adalah ingin ziarah ke makam Mantingan, aku percaya saja karena sudah mendapat ijin dari yang berwenang. Belum keluar asrama, tiba-tiba sepupuku, Ricka dan Galih terlihat buru-buru dan juga mengajakku pulang. Spontan, aku tidak menemukan alasan untuk tidak menangis. Pikiranku tertuju pada Bapak. Bapak, maaf... aku baru pulang pagi ini.

Sesampainya di rumah, banyak orang yang menyambutku dengan pelukan, aku dituntun Om dan Bulik masuk rumah. Bapak sudah tidak ada, Bapak tersenyum dan terbaring tenang di ruang tamu waktu itu. Melihat senyum tegar Ibu dan Aida, si bungsu, disamping tubuh Bapak, aku pun menyimpul senyum. (*senyuman-senyuman itu yang kemudian selalu mengingatkanku untuk tetap berdiri*)


Seribu hari Bapak pergi...
Sangat banyak pelajaran hidup yang kami -anak-anakmu- dapat dari njenengan,
Sebagai panutan, kami harus selalu menghadirkanmu dalam keseharian kami,
Kami harus melanjutkan perjuanganmu...

Seribu hari Bapak pergi...
Aku belum bisa pulang, untuk mengunjungi rumah njenengan. Berdoa di dekat makam, -dilanjutkan curhat-...

Bapak,
Tepat seribu hari njenengan pergi, jatah hidupku juga berkurang...
Perjalananku sudah cukup jauh, namun aku masih ingin jauh lagi berjalan sebelum selesai masa kontrakku. Mengingat sebab-sebab, pilihan-pilihan yang membawaku pada pijakan sekarang ini, aku ingin lebih bermakna di sisa usia...
Nyuwun pangapunten, Bapak...
Dua puluh tahun aku bernafas,
Aku belum bisa menjadi yang terbaik bagimu...

Subuh, 21 Januari 2011