Tuesday, December 13, 2011

Yang Kemudian Kutulis

Hari ini… Lovable!

Setelah menghabiskan waktu seharian, tuanku selalu menyempatkan waktu untuk menyapaku walau dengan sisa-sisa tenaga dan lelahnya. Sekedar menuliskan satu kata di lembaranku seperti “Perfect”, “Lelah”, “Ah…”, atau bercerita panjang tentang hembusan nafasnya seharian.

Aku selalu mendengar apapun yang ia tuliskan, tanpa penolakan sedikitpun. Umpatan-umpatan yang ia tujukan kepada teman-temannya -musuhnya, kurasa lebih tepat- pun aku terima. Luapan kebahagiaan atau kesedihannya bagiku adalah warna untuk diriku.

Ia lebih senang bercerita kepadaku dibanding dengan makhluk bernyawa atau situs jejaring sosial yang semakin marak. Meskipun ia tahu bahwa ia tak akan mendapat apapun dariku baik cacian akan kebodohannya atau pujian atas kebaikannya, aku tak akan mampu menyampaikan solusi saat ia mengadu kesah kepadaku, aku tak mampu menjadi teman bertukar pikiran, aku hanya mendengar tanpa ada kata kemudian. Aku teman bisunya.

Aku sangat mengerti keadaannya setiap waktu. Tak sedetik pun terlewat, aku selalu melihatnya saat ia berada di ruangan ini. Aku berada di antara jajaran koleksi bukunya yang lain, satu rak lebih rendah dari kitab suci yang rajin ia baca. Setiap usai membelaiku dengan tulisan, ia selalu mengembalikanku ke tempat asal. Lepas dari ruang ini, setidaknya ada kata-kata yang ia laporkan kepadaku dan mewakili keadaan hati dan fisiknya. Kira-kira seperti itu.

Keseringannya memanjakanku membuatku semakin mencintainya. Bagaimana tidak, ketulusannya menjadikanku teman, memilikiku, telah menghadirkan rasa yang luar biasa indahnya pada diriku. Ia begitu mengerti akan arti memiliki.

Satu hal yang aku inginkan dari tuanku yang baik, aku harap ia tak melupakanku meskipun nantinya ia tak lagi sendiri karena ada nyawa lain yang mendampingi hidupnya. Setidaknya ia tetap menempatkanku tak jauh darinya. Dan tak ayal, ketika ia kembali membuka lembaran-lembaranku, ia akan tersenyum getir, senang, atau entah. Aku lah yang akan mengingatkannya kepada memori lalu, yang sempat ia abadikan pada diriku.

Memories are never dies, although is already past…
Retrieving old memories is almost interesting…

Wednesday, November 30, 2011

More and More

Ada aja yang 'nendang'...

Terkadang cerita-cerita dulu akan kembali diulang-berulang kali sampai kita faham, lebih faham...

Matur nuwun sangeeet, Allah... Kau selalu memberiku apa dan siapa agar aku terus belajar.


`november ke-empat di Ciputat

Tak peduli berapa tahun lagi kita berdampingan tanpa sentuh
Aku tetap bersyukur karna kita tak jauh
Sengat matahari atau hujan badai yang gaduh
Asal bersamamu, bagiku semua itu adalah awan teduh...

27 OK 2011

Saturday, August 27, 2011

Lebar, Lebaran :)


Sebentar lagi Ramadlan lebar (selesai), kita Lebaran deh… Setelah puasa satu bulan, Idul Fitri deh, kita kembali makan… Yihaa

Tak sedikit perbedaan suasana pada saat Lebaran dengan hari-hari biasa. Disaat Lebaran akan kujumpai lagi Kupat yang dimaknai oleh Javanese sebagai ngaku lepat (mengaku salah) dan Lepet sebagai luput (salah) yang menjadi pengobat rindu karena hanya dapat kunikmati dua makanan khas lebaran ini dengan kekhasan rasa di hati setahun sekali di rumah.

Kemudian, diakui -- walaupun dengan malu-malu -- atau tidak, baju baru sudah identik dengan Lebaran. Tak jarang masyarakat berblonja-blanji baju untuk dikenakan pada hari Raya. Stimulus lingkungan atau keselaluan yang didapatkan akhirnya menjadi keharusan seseorang untuk menghadirkan baju baru di tengah suasana Lebaran.

Pengertian yang harus diajarkan sejak dini tentang semua kekhasan Lebaran adalah berbagi dan tidak berlebihan. Aku sangat bersyukur, sejak kecil, orang tuaku telah mengajarkan kepadaku dan saudara-saudaraku untuk tetap tidak lebay berlebihan dan berbagi kebahagiaan, berbagi rizki dengan sesama. Soul Lebaran bukan dilihat dari baju baru, banyak makanan, dll.

Boleh saja berbaju baru saat Lebaran, tapi kalau tidak ada ya jangan dipaksakan. Baju baru hanyalah simbol kebaruan. Namun, bukan berarti dengan berbaju baru kita otomatis baru. Siapa tahu malah ada penyakit baru. ‘Kan ada tuh lagu anak-anak, “Baju baru Alhamdulillah ‘tuk dipakai di hari raya, tak punya pun taka apa-apa masih ada baju yang lama”. Social learning pada anak seperti ini juga harus dibarengi aksi orang tua agar pengertian akan makna Lebaran tidak salah terima.

Lebaran bukanlah saat untuk berfoya-foya dengan makanan. Tak perlu mewah-mewahan, cukup seperlunya saja. Kupat, Lepet, Lontong, Opor, dan masakan lainnya harus disesuaikan dengan keperluan, untuk suguhan saudara yang datang dan ater-ater tangga. Kalau masaknya kebanyakan jadinya lebih, kalau lebih dibuang-buang sayang, berlebihan akhirnya.

Lebaran adalah event yang baik untuk menyambung tali silaturahmi. Tradisi mudik bagi perantau esensinya bukan hanya sekedar berkumpul dengan keluarga dan bersenang-senang, namun lebih dari itu yaitu menjaga silaturrahim. Kemudian setelah Lebaran berakhir pun silaturrahim harus tetap terjalin.

Salah satu tradisi Lebaran Indonesia yang not least adalah saling memaafkan. Sengaja berdatangan (unjung bada, Jawa) atau berkumpul dalam satu tempat untuk saling bermaafan. Cerita dari Bapak dulu, tradisi Lebaran yang satu ini merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Ulama Jawa memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Kemudian akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama.

Ritual unjung silaturrahim meminta maaf dan meminta restu ke rumah saudara dan tetangga menghadirkan suasana yang aih bagiku. Mengincar suguhan jajan yang menggoda, dan siapa tahu dapat uang jajan ala Lebaran. A ha… Mumpung lebaran, ‘kan jarang-jarang aku bisa bertemu keluarga dan tetangga.

Untuk meminta maaf dan memberi maaf memang seharusnya tidak menunggu Lebaran saja. Ketika kita merasa punya salah, maka sebaiknya kita segera meminta maaf. Bahkan memberi maaf sebelum diminta itu lebih baik. Bisa saja ‘kan kita gengsi untuk meminta maaf dengan sesama, beda dengan memohon ampun pada Gusti Allah. Maka, bagi kebanyakan orang Lebaran mendapatkan apresiasi yang hebat karena menjadi momen yang penting untuk saling memaafkan dan berefek positif pada kembalinya kerukunan dan keakraban satu sama lain.

Bagiku, nyuwun ngapura pada tiyang sepuh dengan sungkem (Sungkem juga kayaknya merupakan budaya Jawa) merupakan satu hal yang istimewa. Selepas sholat ‘Id, kami sekeluarga melakukan sungkeman meminta ngapura kepada yang lebih tua (yang paling kecil ga ada yang nyungkemi deh, hehe). Bukan berarti yang sepuh tidak meminta maaf, karena setelah kita matur minta maaf, orang sepuh selalu bilang, “Podo-podo, aku ya dingapura… … …”, kemudian harapan dan doa dari yang sepuh pun dilangitkan.

Tentang matur nyuwun ngapura, aku punya pengalaman tersendiri. Dulu saat giliranku sungkem aku selalu diam tak berkata apa-apa, tepatnya aku hanya menggumam tak jelas dan mungkin yang aku sungkemi mengiraku mengucapkan kata maaf seperti Mbak-Masku dan saudara-saudaraku yang lebih dulu gilirannya, membisikkan kalimat yang sepertinya sudah dihafal di luar kepala. Hingga pada saat aku kelas satu tsanawiyah mungkin sudah dianggap gede jadi aku mulai bisa matur. Ceritanya, saat aku silaturrahim ke rumah mbah tetangga dengan saudara-saudaraku sungkem pun dilakukan. Saat giliranku, mbah tadi berkata, “Hayo matur apa? Kok meneng wae?”, akhirnya aku matur, “Ngaturaken Sugeng Riyadi (bukan nama orang), nyuwun ngapunten sedaya kalepatan lan nyuwun tambahe pangestu.” Berhasil, haha.

Memasuki Lebaran, kita diharapkan untuk meningkatkan kualitas religiusitas dan hubungan sosial yang harmonis setelah diasah satu bulan sebelumnya. Berburu pahala dan bonus plus-plus yang mungkin kita lakukan di Ramadlan, semoga bisa kita lanjutkan di bulan-bulan setelahnya. Ketika bertemu lagi dengan Ramadlan, kita tingkatkan lagi kualitas kita, begitu seterusnya ‘kan keren. Kita dekat dengan Gusti Allah dan sesamasemuanya, Semoga… ;)

Wednesday, August 17, 2011

Met Ultah ya, Kemerdekaan...


Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku


Aku tak ingat kapan aku mulai hafal lagu kebangsaan Indonesia. Yang aku ingat, setiap senin saat aku SD aku mengikuti upacara bendera di mana Indonesia Raya selalu dinyanyikan oleh anak-anak berputih-merah mengiringi pengibaran Sang Merah Putih. Seusia SD dulu aku senang saat ditugaskan menjadi pengibar bendera seraya membayangkan membawa Merah Putih (duplikat) Pusaka, seperti upacara kemerdekaan di Istana Merdeka yang aku lihat di televisi. Waw… haha

Di Tsanawiyah dan Aliyah tempatku belajar, upacara bendera dilaksanakan tiap dua minggu sekali pada hari Sabtu. Lagu yang aku dengar saat pengibaran Sang Merah Putih tidak berubah, masih Indonesia Raya. Namun pada masa itu, aku lebih senang mendengar Indonesia Raya dari persembunyianku di kelas karena malas mengikuti upacara bendera. Amanat Pembina upacara yang panjang dan lebar membuatku malas untuk sekedar berdiri di barisan. A ha…

Sudah tiga tahun aku tak mengikuti upacara bendera, tidak juga menyanyikan lagu kebanggaankebangsaan itu. Indonesia Raya jadi rebutan. Hebat.

Marilah kita berseru
Indonesia bersatu


Pagi tadi, pelan aku dengar Indonesia Raya diteriakkan pada upacara bendera di Lapangan depan rumah, Sang Merah Putih sedang dinaikkan hingga berkibar di ujung tiang disaksikan para pelajar dan aparat se-Kecamatan. Hari ini upacara kemerdekaan dilangitkan di berbagai tempat. Setelah Proklamasi, tujuh belas Agustus enam puluh enam tahun yang lalu saat Indonesia menyatakan diri bahwa Indonesia merdeka, kemerdekaan Indonesia memang selalu dirayakan. Indonesia Raya.

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta


Indonesia Raya tetap menjadi kebanggaan, di tengah pemimpinpenguasa Negara yang congkak, di tengah kebohongan yang selalu disembunyikan untuk diselamatkan, di tengah pencuri yang bertopeng, di tengah kebodohan yang masih menyelimuti hangat negeri ini, di tengah kemiskinan moral, di tengah penderitaan, di tengah kebencian dan perpecahan, di tengah ratusan wanita Indonesia yang entah di negeri orang.

Indonesia Raya masih indah didengar oleh ratusan juta pasang telinga, termasuk aku yang mempunyai mulut tak jarang bertutur buruk.

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya


Indonesia Raya,
Raya, Raya… Raya!

Selamat ulang tahun, Kemerdekaan…


Jepara,
66 tahun setelah 17 Agustus 1945

Tuesday, August 9, 2011

K A M U

Biar kutitipkan semua rasa kepada
Laut yang selalu tabah
Diamuk angin, pun sampah

Kasih
Kepadamu aku tak mau banyak janji
Karena aku tak mampu
Melihat lebih dulu
Tentang nanti

Namun, berselimut angin dinginku
Percayalah, aku berharap penuh ingin
Kau 'kan selalu bersamaku
Menghadapi semua nyeri
Dengan hati berseri

Friday, August 5, 2011

Mengeja Lagi

Hari ini aku akan melunasi rindu pada ruang dan waktu yang telah menjadi kenangan. Setelah enam tahun aku tak berada di sini, rasanya sudah benyak perubahan yang nampak. Jalanan tak lagi lengang dengan lalu-lalang kendaraan beroda empat dengan plat nopol warna hitam. Dulu, jalanan ini diramaikan oleh kendaraan umum yang digemari penduduk.

Di desa ini, ada satu tempat yang sangat kukagumi akan keberhasilannya memupuk semangatku. “Waroeng Batja”, sebuah perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum oleh seorang pensiunan guru yang hidup sendiri karena istri dan anaknya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan, namanya Pak Ahmad. Waroeng Batja yang didirikan tiga belas tahun yang lalu oleh Pak Ahmad ini selalu menyapa hangat pengunjungnya dari pagi hingga menjelang maghrib. Minimnya bacaan di desa kami dan kekhawatiran Pak Ahmad atas pendidikan masyarakat setempat waktu itu merupakan motivasi Pak Ahmad untuk merubah ruang tamu rumahnya menjadi Waroeng Batja. Di beranda rumahnya, ada kertas berukuran A4 yang dilaminating bertuliskan, “Tidak ada larangan untuk menempatkan buku bacaan Anda di sini. Semoga bermanfaat untuk semua.”, berharap akan ada yang mewakafkan buku untuk kebaikan bersama dan juga berharap mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten.

Waroeng Batja masih sepi pengunjung saat tahun pertama didirikan. Saat itu, usiaku sepuluh tahun dan aku lah penyantap Waroeng Batja termuda. Aku membaca semua koleksi Pak Ahmad, buku berat pun aku baca, aku terus membaca meski tak paham apa maksud buku yang kubaca. Mungkin saja suatu saat kelak aku akan tahu apa yang ingin disampaikan penulis padaku, pikirku waktu itu. Hampir setiap hari aku mengunjungi Waroeng Batja, aku juga membatu Pak Ahmad merapikan kembali Waroeng Batja saat petang.

Pada tahun kedua, Waroeng Batja mendapat respon positif dari Pemkab. Waroeng Batja mendapat sumbangan sejumlah buku dan sejumlah uang. Tidak hanya dari pemerintah, berbagai instansi juga mengirimkan beberapa paket buku bacaan. Saat itu aku hanya merasakan kebahagiaan karena kepedulian orang lain terhadap Waroeng Batja. Namun beranjak dewasa, aku menyadari itu hanyalah akal-akalan politik, karena saat itu mendekati pencalonan bupati dan memang setelah pemilu bupati usai tak ada lagi lirikan manis dari orang-orang yang pernah kukagumi kebaikannya.

Waroeng Batja mulai ramai pengunjung setelah ada sumbangan-sumbangan itu, mulai dari anak-anak hingga kakek-nenek. Tidak hanya dari desa sendiri, namun banyak pengunjung dari desa tetangga. Aku senang sekali, terlihat tatapan bahagia dari sorot mata Pak Ahmad. Banyak pembaca yang dengan akrabnya berbincang bersama Pak Ahmad, termasuk gadis cilik bernama Ica yang masih sangat lugu dan baru kelas satu SD. Pak Ahmad sangat senang dengan gadis cilik itu. Kepandaiannya membaca membuat Pak Ahmad semakin menyayanginya seperti cucu sendiri.

Saat usiaku tiga belas tahun, aku melanjutkan pendidikanku ke tingkat SMP. Aku mendapatkan beasiswa penuh dari Pemkab karena peringkat pertama se-kabupaten pada ujian nasional SD. Jika tidak ada beasiswa, aku tak melanjutkan sekolahku tentunya.
Aku masih menjadi penikmat Waroeng Batja walau di sore hari sepulang sekolah. Waroeng Batja telah menjadi bagian dari hidupku. Pak Ahmad sering mengajarkan kepadaku tentang banyak hal saat kami berbincang melepas lelah sore hari.

Saat itu, aku hidup bersama kakekku. Ibuku meninggal saat melahirkanku, sedangkan ayahku pergi tanpa kejelasan sebelum aku bisa mengingat wajah dan bau tubuhnya. Aku dan kakekku tinggal di sepetak rumah kecil samping Masjid. Kakek dengan senang hati membersihkan Masjid desa kami dengan tanpa meminta upah. Namun, kami sering menerima makanan, uang, pakaian dari masyarakat sekitar. Aku juga mendapatkan uang dari Pak Ahmad sebagai imbalan membantunya merapikan Waroeng Batja, begitu katanya. Kami merasa sangat cukup, bahkan kami pun bisa menabung. Aku semakin yakin dengan nasihat Kakek waktu itu, bahwa rizki Allah itu datang tanpa dinyana-nyana oleh manusia.

Kakek adalah seorang yang sangat nrima dan bersyukur dengan apa yang ditrimanya. Dia selalu mengingatkanku agar menjadi manusia yang mempunyai rasa perhatian dan prihatin. Dia juga selalu mengingatkanku akan pentingnya hati dan menghayati dalam menghadapi dunia.

Seiring kerentaannya mengikuti usia, kakek sering sakit-sakitan. Uang yang dulu kami tabung akhirnya terpakai untuk biaya pengobatan kakek, kami juga sering meminjam uang kepada Mak Nah, tetangga kami yang sangat baik, saat uang yang kupegang tidak cukup untuk pengobatan kakek. Di tengah sakitnya, kakek selalu bilang bahwa ia menikmati kedekatannya itu dengan Tuhan, ia khawatir kalau saja ia sehat justru akan banyak penyakit di dalamnya.

Suatu sore, kakek mengeluarkan banyak darah dari mulutnya. Aku panik bukan main. Aku tak punya uang sepeser pun untuk membawa Kakek ke Puskesmas, aku juga tak berani meminjam uang pada Mak Nah karena hutang sebelumnya belum lunas. Dan pada sore itulah, aku melakukan hal terbodoh seumur hidupku. Aku menyelinap masuk ke rumah Mak Nah dengan tergesa-gesa, mengambil uang yang ada di kotak jualannya.
Namun, aksiku tertangkap basah oleh suami Mak Nah. Tanpa pikir panjang, dia menamparku dan menghajarku. Aku masih sangat ingat kejadian itu, aku berteriak meminta maaf dan menjelaskan kondisi kakek namun pukulan dan tendangan terus menghajarku. Mak Nah dengan isak tangisnya berusaha melindungiku namun percuma. Mataku kunang-kunang dan tak mampu melawan. Aku melihat Mak Nah keluar rumah dan kembali dengan tangisan yang lebih histeris, mengabarkan bahwa kakek sudah tiada. Mendengar kabar itu, suami Mak Nah berhenti menghajarku dan aku sudah tak punya daya. Aku pingsan.

Hari itu juga aku dibawa ke Puskesmas untuk dirawat. Kondisiku sangat lemah. Aku ingin segera keluar dari ruangan berbau khas itu kemudian menemui kakek walaupun hanya batu nisan yang bisa kutatap. Pak Ahmad menanggung semua perawatanku, dia juga menemaniku sepanjang hari. Mak Nah dan suaminya juga menjengukku sesekali waktu. Aku belum bisa bicara apa-apa atau hanya mengucap maaf, membuka mata pun terasa berat. Tangisan Mak Nah tiap kali menjengukku membuat hatiku semakin perih.

Setelah kondisiku semakin membaik, aku diijinkan pulang. Pak Ahmad membawaku ke rumahnya, memintaku untuk tinggal bersamanya. Dia merawatku layaknya cucu sendiri. Dia sama sekali tidak membicarakan kebodohanku menjelang kakek meninggal. Dia memelukku dengan rasa sayang seorang kakek kepada cucunya.

Aku kemudian meminta maaf kepada Mak Nah dan suaminya. Aku menceritakan niat mencuriku waktu itu. Aku tidak mendengar apapun kecuali isak tangis Mak Nah dan diam suaminya. Saat aku pamit untuk pulang, suami Mak Nah memelukku dan berkata, “Maafkan saya.” Aku merasa tak pantas untuk dimintai maaf. Aku menangis dalam penyesalan.

Luka di tubuhku memang mulai sembuh, namun luka di hatiku masih parah. Aku dan Pak Ahmad mengunjungi makam kakek dan ibuku. Aku menangis penuh sesal. Saat itu aku tak ingin segera beranjak, ajakan Pak Ahmad untuk pulang berulang kali aku tolak.
Hingga akhirnya aku luluh dan pulang dengan mantra Pak Ahmad, “Jadilah anak sholih dan selalu doakan mereka.”

Suatu sore setelah pengumuman kelulusan SMP, di beranda Waroeng Batja terjadi percakapan yang tidak akan kulupa antara aku dan Pak Ahmad.

“Gimana nilai ujian kamu, Nak?” Tanya Pak Ahmad.

“Saya lulus, Pak. Tapi tidak the best lagi seperti waktu SD dulu, hehe.” Jawabku.

“Kamu mau sekolah mana?” Tanya Pak Ahmad lagi.

Aku terdiam sejenak, “Kalau Waroeng Batja bisa dibilang sekolah, saya sekolah di sini saja, Pak.” Celetukku sambil tersenyum. “Sekolah sekarang mahal, Pak. Saya heran, kenapa harus ada uang yang dibilang sumbangan untuk sekolah. Teman-teman saya menyebutnya uang titipan. Teman saya masuk SMA dengan nilai tinggi aja ngasih lima juta. Teman saya yang nilainya sangat kurang, bisa masuk SMA unggulan dengan ngasih dua puluh juta.” Lanjutku.

Pak Ahmad tertawa mendengar ceritaku, “Belajar itu bisa dimana saja. Di sekolah, di rumah, di pasar, di mall, di kolong jembatan sekalipun kamu bisa belajar. Hidup ini adalah sebuah pembelajaran.” Dia menghisap cerutunya, “Saya tidak bisa menghormati orang yang akhlaknya buruk walaupun ilmu yang ada di otaknya itu luar biasa. Ilmu pengetahuan yang ada di otakmu itu jauh kalah pentingnya dengan pendidikan yang ada di sini.” Dia menepuk dadaku tiga kali dengan berkaca-kaca matanya.

Aku ingat waktu itu gadis cilik yang bernama Ica memperhatikan perbincangan kami dari bangku pojok Waroeng Batja tempat ia biasa membaca buku. Aku dan Pak Ahmad terdiam cukup lama dalam pikiran masing-masing. Kemudian, dia mengambil sesuatu dari laci mejanya.

“Pergilah ke pesantren, Nak. Perdalam ilmu agamamu. Perdalam lagi apa yang diajarkan kakekmu waktu masih hidup. Ada teman Bapak di Jawa Timur yang punya pesantren, pergilah ke sana.” Pak Ahmad memberiku secarik kertas, sebuah alamat.
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan setelah menerima kertas itu, aku merasa diusir oleh Pak Ahmad. Namun, aku segera mencari sisi positif dari apa yang dikatakannya.

Keesokan harinya aku pergi dengan bekal seadanya dan sepucuk surat untuk teman Pak Ahmad dari Pak Ahmad. Aku memohon restu pada Pak Ahmad dan orang-orang yang ada di Waroeng Batja saat itu. “Jangan kembali sebelum kamu merasa cukup dengan apa yang kamu pelajari di pesantren.” Kata Pak Ahmad melepasku.

Pagi itu aku pergi dengan penuh harapan dan cita-cita. Selama ini aku selalu merasa belum pantas untuk pulang, aku merasa malu pada pesan Pak Ahmad saat melepasku pagi itu. Tiap lebaran, aku hanya mengirimkan surat untuk Pak Ahmad, mengobati rinduku sebatas itu. Sungguh, sangat banyak pelajaran yang kudapatkan di pesantren. Lebih-lebih, tentang pelajaran “di sini” ala Pak Ahmad.

Kini aku sudah berada di desaku, aku sudah tak mampu menahan rindu dan tak mau memanjangkan rindu lebih dari enam tahun. Kali ini bukan urusan merasa cukup atau tidak untuk melapor rapor pada Pak Ahmad. Aku hanya ingin melaporkan rinduku, pada Pak Ahmad dan semua kenangan.

Di beranda Warung Batja aku melihat Pak Ahmad dan seorang gadis berseragam putih-abu-abu tengah bercanda. Aku senang, seperti gadis itu selalu menemani Pak Ahmad melewati sorenya. Aku menahan air mata, mataku perih menyadari akan hadirnya tangis.

“Bapak…” Panggilku.

Lelaki tua yang terlihat semakin tua dengan rambut putihnya itu menoleh ke sumber suara, berdiri dari duduknya, diikuti gadis Ica itu. Aku, Pak Ahmad, dan Ica, tersenyum haru.

Kami larut dalam lingkaran kenangan. Ujung hari ini sangat indah.


Jepara, 5 Ramadlan 1432 H

Thursday, May 19, 2011

Tak Ada Judul

Jika ada lagi temu,
Sekedipan mata pun aku mau...

Jika ada lagi temu,
Akankah beda yang kau kata rindu...

Jika ada lagi temu,
Kita menunggal, itu yang aku mau...

Jika ada lagi temu,
Adakah kita kembali berpeluk...

-Sebelum Cahaya, 19052011-

Tuesday, February 8, 2011

Tidak Lebih dari Dua Ribu Menit

Minggu pertama bulan Februari, Sabtu pagi, aku turun dari bis yang telah mengantarku pulang ke kampung tentramku. Aku mendekap badanku sendiri berupaya mengurangi rasa dingin yang menembus tulang, sweater yang kupakai belum cukup menghangatkanku. Ditambah lagi aku lupa membawa kaos kaki selama perjalanan semalaman, akibatnya kakiku berulang kali kram dan linu karena tidak tahan dengan dingin ac bis. Dan ternyata udara dingin kota ini lebih menusuk dari dinginnya ac bis malam itu. Selamat datang di Bumi Kartini.

Jalanan masih sangat lengang, tak banyak kendaraan lalu-lalang di jalan raya. Sangat berbeda dengan Jakarta yang sudah siap macet sepagi itu, Jakarta macet Raya. Dan aku pun tak perlu takut menyebrangi jalan raya itu.

Hanya ada satu angkutan pedesaan menuju rumahku yang kelihatan di pangkalan angkot Pekeng. Tujuh kilometer lagi aku sampai rumah. Tak pikir panjang, aku menyamankan duduk di angkot itu, masih berharap akan berkurangnya dingin yang kurasakan. Dan hanya dengan tiga penumpang di angkot pagi itu, akhirnya pak sopir menjalankan mobilnya dengan harap-harap cemas mendapat penumpang lagi. Dan hingga pangkalan terakhir di pasar desa, penumpang masih saja tiga wajah itu termasuk aku.

Aku terakhir turun dari penumpang lainnya, seharusnya angkot berhenti di pasar, namun aku minta pada pak supir, “Dugi prapatan nggih, Pak”, akhirnya aku diantar sampai perempatan yang berjarak kurang lebih 500 meter dari pasar. Sesampainya di perempatan, aku merasakan kebahagiaan melihat pohon besar di halaman rumah Mbah Rayi, mencium bau tanah yang nampak banyak bletok karena hujan, dan kemudian tersenyum melihat rumahku

Pukul tujuh tepat aku masuk rumah. Dan isi rumah itu yang aku rindukan. Menghabiskan pagi aku bercanda dengan Aida, adikku yang paling kecil. Lepas dzuhur, ada beberapa tamu yang mencari Ibu. Ibu masih ngajar dan hapenya tidak dibawa, aku bingung bagaimana menghubungi Ibu. Akhirnya dengan kepedean aku jagongi tamu-tamu Ibu, justru aku yang ditanya macam-macam.

Jelang ashar, Aida asyik main dengan temannya. Aku ikut nimbrung Mas Oni, De Arif, Lek Ismet dan beberapa tetangga yang ada di depan rumah. Akhirnya Ibu rawuh juga, kemudian aku laporan ada beberapa orang yang mencari Ibu. Belum sempat istirahat, belum juga ngobrol denganku, Ibu sudah mernah-mernahke pawon dan ikut repot.

Rasanya cepat sekali waktu berlalu, sampai maghrib terhitung sudah sepuluh jam lebih aku di tempat itu. Aku mendengarkan suara dziba’an di masjid depan rumah sehabis isya’ sambil memberesi undangan yang belum disebar. Hujan sejak pagi yang tak henti-henti, dan hujan yang cukup deras menjadi faktor penunjang flu bagiku. Setelah selesai tugasku mengetik susunan acara untuk keesokan harinya dan riwayat hidup Bapak -dengan pertolongan darurat Miss Nyit2, haha-, aku sudah tak tahan dengan dingin dan rasa lelah perjalanan dua belas jam yang belum kubayar dengan tidur, akhirnya dengan selimut seadanya aku terlelap di depan tv hingga pagi.

Ahad pagi, setelah subuh, hujan terus saja turun. Aku dan ibu-ibu yang sambatan menyiapkan jajan untuk acara jam sembilan pagi hari itu. Seribu kardus akhirnya rapi. Sudah banyak tamu yang datang, malunya ketika aku disapa beberapa orang dalam keadaan belum mandi, apalagi rapi, haha...

Acara Maulid Nabi dan Haul Bapak dimulai pukul sembilan. Hujan berhenti, dan hanya rintik gerimis yang tidak begitu besar selama acara berlangsung. Di tengah-tengah acara, di tengah-tengah konsentrasi Ibu pada acara, Ibu berulang kali mengingatkan aku untuk pesan tiket. Sore itu juga aku harus pergi lagi, mengejar ujian semester yang belum juga selesai.

Aku tidak ingin ketinggalan acara inti dari acara itu. Nasihat sesepuh yang aku idolakan siang itu harus aku rekam tanpa kurang. Sejak kecil aku sangat mengidolakan Mbah Sya’roni yang sering ‘bercerita’ dalam mau’idhohnya. Cekak aos, singkat namun penuh makna. Siang itu kerinduanku pada beliau terlunasi.

Acara pun selesai. Ibu masih lari kesana-kemari. Aku tak ada waktu untuk sekedar menceritakan sesuatu yang -meskipun- tidak begitu penting padanya. Aku bersiap-siap untuk pergi lagi, mengecek ulang bawaanku. Sebelum pergi, aku keliling kampung naik vespa bersama Arief walaupun gerimis kembali datang.

Agenda yang tak terrealisasi dalam kepulangan singkatku itu adalah berkunjung ke makam Bapak. Maaf, Bapak... aku tak mengunjungi rumah jasadmu.

Aku pamit pada Ibu, pelukan yang cukup lama, hatiku berdesir, dan sifat cengengku muncul. Setelah semua kupamiti, aku pergi. Ya, tidak lebih dari dua ribu menit aku berada di gubuk istimewaku...

Friday, January 21, 2011

Seribu, Dua Puluh

Baru saja aku mengirim sms pada ibuku, kemudian datang keinginan untuk mengurai memori yang pernah terjadi padaku ke dalam tulisan. Aku tak tahu -tepat- berapa gigabyte memori yang terekam di otakku. Beberapa file tersimpan secara rapi sehingga aku bisa memutarnya kapan aku mau.

Hitungan hari, hari ini tepat seribu hari Bapak pergi. Itu artinya, sudah seribu hari aku tak menemukan wujudnya dalam nyata. Perasaan rindu -ingin bertemu- yang sering kali datang, mengajak sadarku untuk kembali menyusuri kejadian-kejadian yang telah kualami dengannya. Lalu keinginan berada di tempat dimana kita pernah bersama, hingga cara terakhir yang kulakukan adalah menghadirkannya lagi dalam kehidupanku. Karena aku hanya bisa mencoba berinteraksi dengannya melalui doa.

Masih sangat jelas dalam ingatanku, Jum’at 25 April 2008, Bapak -harus- pulang untuk menemui-Nya, Dia merindukannya.

Dua minggu sebelum Bapak pergi, aku nyuwun pangestu agar sukses di ujian kelulusan. Bapak bercerita banyak; tentang masa kecilnya, tentang masa kecilku, tentang Ibu, tentangnya ‘waktu itu’. Sesekali kulihat matanya berkaca-kaca, tersenyum, dan memegang kepalaku. Ketika aku pamit untuk kembali ke asrama (tempatku numpang makan dan tidur), sangu -terakhir-nya adalah, “Sing pinter...”.

Kamis 24 April 2008, selesai UAN, teman-temanku banyak yang pulang, sekedar melaporkan hasil ujiannya, dan meminta restu lagi pada orang tuanya untuk ujian madrasah hari Sabtu kemudian. Aku juga ingin pulang waktu itu, tapi aturan asrama menghalangi keinginanku; kalau pulang harus dijemput keluarga. Pikir pendekku waktu itu, tidak ada yang bisa menjemputku. Selesai masalahnya, aku tak bisa pulang hari itu juga.

Malam jum’at setelah tahlilan dan dziba’an, aku mulai merasakan kesunyian asrama, sepi. Tiba-tiba aku menangis layaknya anak kecil yang merindukan keluarganya, rinduku membuncah, makin bertambah perasaan rinduku ketika aku mencoba mengabaikannya. Akhirnya aku lelap tidur karena lelah nangis. –hehe...

Jum’at pagi, Lek Kik (Musyq-red) mengajakku pulang, alasannya -yang disampaikan padaku- adalah ingin ziarah ke makam Mantingan, aku percaya saja karena sudah mendapat ijin dari yang berwenang. Belum keluar asrama, tiba-tiba sepupuku, Ricka dan Galih terlihat buru-buru dan juga mengajakku pulang. Spontan, aku tidak menemukan alasan untuk tidak menangis. Pikiranku tertuju pada Bapak. Bapak, maaf... aku baru pulang pagi ini.

Sesampainya di rumah, banyak orang yang menyambutku dengan pelukan, aku dituntun Om dan Bulik masuk rumah. Bapak sudah tidak ada, Bapak tersenyum dan terbaring tenang di ruang tamu waktu itu. Melihat senyum tegar Ibu dan Aida, si bungsu, disamping tubuh Bapak, aku pun menyimpul senyum. (*senyuman-senyuman itu yang kemudian selalu mengingatkanku untuk tetap berdiri*)


Seribu hari Bapak pergi...
Sangat banyak pelajaran hidup yang kami -anak-anakmu- dapat dari njenengan,
Sebagai panutan, kami harus selalu menghadirkanmu dalam keseharian kami,
Kami harus melanjutkan perjuanganmu...

Seribu hari Bapak pergi...
Aku belum bisa pulang, untuk mengunjungi rumah njenengan. Berdoa di dekat makam, -dilanjutkan curhat-...

Bapak,
Tepat seribu hari njenengan pergi, jatah hidupku juga berkurang...
Perjalananku sudah cukup jauh, namun aku masih ingin jauh lagi berjalan sebelum selesai masa kontrakku. Mengingat sebab-sebab, pilihan-pilihan yang membawaku pada pijakan sekarang ini, aku ingin lebih bermakna di sisa usia...
Nyuwun pangapunten, Bapak...
Dua puluh tahun aku bernafas,
Aku belum bisa menjadi yang terbaik bagimu...

Subuh, 21 Januari 2011