Friday, August 31, 2012

One Night Left

Malam ini adalah malam terakhir bulan Agustus. Malam Purnama kedua bulan Agustus. Malam pengantar waktu menuju pagi September. Dan, malam ini adalah malam terakhir aku berada di rumah selama liburan hari raya. Time Count Down...

Selepas maghrib tadi, membaca catatan harian Ragil merupakan sebuah harmoni kehidupan. Menambah warna kehidupanku dengan pengakuan atas kehebatan adikku. Kedewasaannya yang terlihat dalam sikap, menunjukkan bahwa kedewasaan tidak mudah diukur dengan seberapa lama kita sudah ada di dunia ini. Adikku, begitu tegar dan kuat untuk menjadi Ragilnya Bapak dan Ibu.

Kerinduannya pada Bapak serta keiriannya yang ditujukan kepada kami -kakak-kakaknya- atas waktu yang lebih lama untuk mengenal Bapak dari pada dia yang dituturkan melalui kata, mengharubirukan hati dan membuncah air mata.

Adikku, walau engkau kalah waktu dengan kami, aku yakin kau mampu untuk lebih hebat, kuat, tegar, dari kami, dan bisa menjadi kebanggaan Bapak... Bapak selalu hadir dalam hati kita, bukan? :)

Dua puluh lima hari tidaklah cukup untuk mengabdikan diriku kepadamu, Ibu... Malam ini, hati dan ragaku terasa berat untuk sekedar membayangkan  esok sore aku sudah bertolak dari Bumi Kartini. Aku ingin lebih lama lagi di sini...

Kelelahanku karena dinas di rumah jauh lebih ringan dibandingkan dengan bagaimana lelahnya Njenengan, setiap hari mengejar matahari untuk kami, anak-anakmu. Aku ingin meringankan bebanmu, Ibu... Walaupun apa yang bisa kulakukan hanya sedikit dari tugas dan kewajibanmu.

Saat matahari terbenam, aku bahagia kau terlelap layaknya membayar lelahmu, menggantikan energimu yang seharian terkuras. Saat matahari belum terbit, aku lebih bahagia melihat matmu terbuka, mengawali harimu dengan munajat kepada Yang Hayy, Yang Hafidz...

Ibu... trima kasih untuk kesabaran dan ketegaran yang selalu kau ajarkan kepadaku... Meski aku belum mampu meneladanimu, ridloilah aku dan selalu doakan aku...

Aku akan pergi dengan membawa cinta untuk kubawa kembali...

Tuesday, August 28, 2012

Yap, Aku 'Cukup-Sekian'kan :D

Karena aku meyakini hanya kebenaran Tuhan yang benar benarnya...

Aku mencoba menghapusmu dari kehidupanku, tidak lagi ingin melihat warnamu, tidak juga mau menyentuh siluetmu. Begitu jahat kah aku dengan demikian itu? Tapi sepertinya kau sengaja tumbuh dalam ingatan. Ah, bukan... Biarlah apapun tentangmu kujadikan kenangan, tidak terlalu manis kok akhirnya :D

Aku bukanlah anak kecil yang jika menangis akan segera diam jika disodorin permen, cokelat, es krim, atau mainan. Terlalu menyakitkan bagiku saat aku harus mempertahankan cita-cita bersamamu. Mungkin Pastinya kau juga merasakan sakit hati yang tak kalah nyerinya denganku.

Yang ada kini hanya kata 'andai', andai dulu aku tak pernah memulai dan memupuk cinta kepadamu. Andai dulu aku berani untuk segera mencukupkan. Andai aku tak pernah memelukmu. Dan yang tersisa kini hanyalah dosa yang biar kutanggung sendiri.

Sudahlah, aku tak mau kembali mengingat, lagi dan lagi. Berbicara denganmu rasanya hanya menghabiskan energi. Anggap saja ini sebuah drama yang harus segera diakhiri.

Setelah tak lagi sedikitpun simpati padamu, seiring itu mungkin kau akan lupa tentangku dan membenciku.

Terima kasih telah pernah mencintaiku. Maaf, karena aku tidak benar-benar mencintaimu. Tapi, aku tidak benar-benar membencimu. Biarlah kebenaran bersemayam di tempatnya. Tuhan telah mempersiapkan segala cerita yang tak pernah kita tahu.

Sunday, August 26, 2012

Amarahku Adalah Kekhawatiranku

Pagi ini, telah kusiapkan cinta yang manis untuk kembali kau santap, menjadikan hari-harimu lebih bersemangat. Setelah kau tatap mataku seraya berterima kasih, tanpa kau kecup keningku kau menghilang dari pandanganku. Aku menunggumu, Sayang… Karena kau telah berjanji hari ini kita akan menghabiskan matahari bersama-sama.

Aku lama menunggumu. Waktu yang kau janjikan sebagai start kebersamaan kita hari ini sudah terlewat. Aku mulai cemas, khawatir, dan… takut kehilangan dirimu. Bayangan masa lalu seketika datang, aku sangat takut  untuk kau tinggalkan, bahkan untuk kau duakan.  Kejadian masa lalu telah membekaskan trauma di jiwaku. Apakah, jika saat itu kurelakan kau bersamanya, kau akan bahagia? Atau jika saat itu aku mau untuk kau bagi cintamu dengan yang lain, apakah kau yakin kau akan adil? Jika iya, aku hanya menyayangkan kenapa dulu aku tak menyetujui permintaanmu. Senyatanya kita tidak pernah tahu tentang masa depan. Aku tak ingin kebahagiaan yang telah kita perjuangkan kau hapus begitu saja. Aku terlalu takut untuk kecewa.
Dugaan-dugaan dalam hati akhirnya kutumpahkan kepada anakku setelah kau diam saat aku tanya “dari mana?”, aku tak mampu mengendalikan amarahku barang sedetik. Aku ingin marah di hadapanmu tapi aku tak ingin kau balas dengan murka. Aku tetap ingin menjadi garwamu yang taat…

Kita tidak lagi pengantin baru, usia pernikahan kita sudah melewati setengah usiaku yang berkepala lima. Apakah aku yang selalu saja kekanak-kanakan atau kau yang lagi-lagi tak pengertian? Aku ingin menikmati usia senja kita bersama anak-anak dalam kedamaian, dalam kebahagiaan yang sesaat lagi sebelum kita kembali pada Penggenggam Semesta. Biarlah kebenaran bersemayam di tempatnya…

Maafkan aku, anakku…
Aku ingin selalu menghormati dan memulyakan suamiku, namun amarahku selalu menghukuminya.

Maafkan aku, suamiku…
Untuk menjadi istri yang selalu muda dan sempurna aku tak bisa…

Thursday, August 16, 2012

Do It With Love

Jangan lepaskan genggamanmu...
Yang aku inginkan, tak lain hanyalah melihatmu bahagia...

Tak akan kubiarkan siapapun mengganggumu, pun makhluk kecil di kepalamu, Nak...
Belajarlah menjadi wanita sejak dini, Ndhuk...
Walau usiaku renta, aku senang kau mengajakku bercanda, sayang...
Ayo bermain sesuka hati, kawan...

I love you, brother...
Adakah waktu yang lebih lama dari selamanya?

Monday, August 13, 2012

Anggur Asam :D



Aku biasa menyapanya melalui sebuah pesan singkat yang dalam hitungan sepersekian detik sampai di tempatnya. Memang, aku tidak terlalu sering menghubunginya walau sekedar menanyakan kabar, begitupun dengannya. Sepekan, dua pekan, atau bahkan hampir selapanan kita tak bertegur sapa. Ini ramuan rindu mungkin :D

Obrolan ringan melalui short messages yang seringkali menambah bahan untuk kuceritakan pada anak-anakku kelak dan pelajaran berharga yang tidak selalu bisa kudapat dari sekitarku, menjadikannya recommended teacher untukku dan siapapun yang mau. Haha…

Saat itu, seperti biasa aku saling bertanya kabar dan sedikit melaporkan masing-masing kegiatan ter-update. Kemudian hobiku untuk minta cerita pun kembali dikabulkan. Kali ini ceritanya sungguh membuatku terperangah, seberapa dalam dia bisa melihatku meski kita tengah berjarak jauh?! (atau karena hatiku yang lagi banget-banget sensitifnya kali yaa?! haha)

Awalnya dia bertanya, “Tahu ga’ psikologi anggur asam?” karena aku jawab “Tidak.” dia pun mulai bercerita seperti seorang ayah :D

-dengan mengubah beberapa ejaan dari pesan singkatnya-
Dahulu kala ada seekor musang yang menemukan sebuah anggur di bawah pohon. Setelah dimakan ternyata dia merasakan kelezatan anggur tersebut, rasanya manis. Dia pun berharap buah anggur yang ada di atas pohon di dekatnya bisa dia ambil karena dia yakin rasanya pasti sama dengan yang sudah dia makan. Setelah lama musang itu berusaha mendapatkan anggur tersebut dan tidak juga berhasil, akhirnya dia pun berkata “Ah, paling juga anggur di atas itu asam rasanya!”
Well, saat aku tanya “Apa pesan moralnya?” dia pun kembali berceloteh…

“Kamu tahu lagu Adele yang berjudul Someone Like You?’”

O ow… Let’s talk about love :D

“Dalam hubungan cinta seseorang terkadang hubungan hancur di tengah jalan. Tuk bertahan hidup dia harus berkata layaknya musang tadi, “Ah, dia pasti ga sebaik yang aku bayangkan. Kalaupun dia memang baik, aku akan menemukan someone like him/her.” Nah, itulah lagu Adele yang berjudul anggur asam. Hehe… “
 
Seketika itu aku tersindir dengan guyonannya itu. Oke, kita sedikit mengulas tentang perjalanan hidup dan cinta.

Yap, dia benar. Saat cerita romansa kita tidak berujung indah, kita tidak seharusnya memelihara galau (Sebenarnya apa sih galau itu? Go Always Listening Always Understanding? Haha), atau bahkan mematikan energi hidup kita hanya karena putus cinta. Wealah, Ngger… bikin hidup terasa semakin tak berarti saja kalau gitu. We have to walk forward, on and on…


Memang tak mudah untuk terus melangkah ke depan tanpa mempedulikan masa lalu. Ups, keliru, tepatnya… lebih baik kita jadikan masa lalu sebagai pelajaran dan koleksi pengalaman. Toh, setiap apapun yang terjadi pastinya mempunyai sisi positif dan negatif, mana yang lebih dimenangkan ya tergantung si aktor.

Namun, jika -mentok banget- terasa berat dan sangat tidak menenangkan, lebih baik buang spion kanan kiri sehingga kita tidak melihat ke belakang :D


Bagaimanapun, bagiku, masa lalu bukanlah bagian yang harus dilupakan. Dia merupakan a part of life yang sudah terlukis oleh tangan kita dan tidak bisa kita hapus. Kita hanya bisa menambahkan warna agar lukisan tersebut terlihat indah. Berdamai dengan masa lalu adalah sebuah solusi agar kita aku tidak memusuhi apa dan siapa yang meng-anyel-kan hati di ruang dan waktu yang telah lalu.

Itu tidak mudah! Aku harus membuat perjanjian khusus dengan pikiran dan perasaanku agar tidak terjadi pertengkaran dahsyat yang bisa merugikanku sendiri, juga selalu meminta kepada Yang Maha Bijaksana agar aku dilimpahi kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menyikapi permasalahan serta kebaikan budi pekerti. (Ngomong opo tho iki?)

Akhirnya, saat kehidupan kita sedikit terusik oleh urusan hati dan percintaan yang justru menyakitkan (koyo to; ditinggal nikah, diduakan, dikhianati, ga cocok lagi, misunderstanding mulu, miscommunication, dll) marilah mengumandangkan lagu Adele yang berjudul Anggur Asam. #eh...

Bangun dan teruslah hidup:)

Sunday, August 12, 2012

Aku Menjagamu, Dia Selalu Menjagamu

Namaku Aini. Nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku yang buta. Nama yang indah bagi mereka, menjadi mata dan penyejuk mata, begitu ujar mereka. Bagaimanapun orang lain memandang hina kedua orang tuaku karena kebutaannya, aku selalu bersyukur memiliki mereka yang selalu melihat keindahan semesta dan keangkuhan dunia dengan mata hatinya yang tulus.

Aku tak lama hidup bersama seorang Bapak, usiaku saat itu belum cukup untuk menjadi murid sekolah dasar. Bapak kehilangan nyawa karena tertabrak mobil yang melaju kencang saat ia ingin menyebrangi jalan. Sejak saat itu, aku tak mau melepas Ibuku bepergian sendiri. Aku selalu menemani Ibu saat ingin keluar rumah. Hingga akhirnya aku sudah cukup umur untuk bersekolah, aku mulai belajar melepasnya dengan memaksa tongkat yang selalu ia bawa untuk selalu menjaganya.

Aku masih sangat ingat bagaimana kekonyolanku saat kecil dulu, selalu berbicara dengan tongkat besi Ibu sebelum aku berangkat ke sekolah. Akan mengutuk tongkat itu kalau terjadi sesuatu pada Ibu dan tidak mau lagi berteman dengannya bahkan akan membuangnya. Aku menganggap tongkat itu mempunyai nyawa layaknya manusia. Sungguh, hal itu lucu saat aku mengingatnya sekarang ini…
Aku sudah berseragam putih abu-abu sekarang ini. Suatu kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Rizki yang diberikan Tuhan kepada keluargaku meyakinkanku kembali bahwa Tuhan Maha Pemberi, memberikan rizki kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Ibuku yang berperan menjadi Bapak sekaligus mampu menyekolahkanku hingga jenjang sekolah menengah atas sekarang ini.

Hari ini sepulang sekolah, di angkutan umum aku duduk berdampingan dengan seorang Ibu paruh baya, mungkin seumuran Ibuku, membawa tongkat yang tak jauh beda dengan milik Ibuku, sesekali matanya berkedip berusaha membuka, tetapi tak kulihat bola matanya. Ingatanku tiba-tiba berada di suatu masa dulu…

Aku, Ibu, dan tongkatnya, duduk tepat di belakang supir sebuah angkutan umum. Aku masih suka memakai jepit rambut pita, mungkin juga masih ingusan, masih belum menyadari bahwa tongkat itu tidak bernyawa. Aku hendak mengantarkan Ibu ke salah satu klinik pengobatan karena satu minggu terakhir Ibu mengeluhkan matanya yang terasa sakit.

Di angkutan umum tersebut banyak penumpang yang memperhatikanku dan Ibuku. Aku yang cuek dengan tatapan mereka terus saja bernyanyi sesukaku, sesekali menggoyangkan badanku seolah mengikuti irama musik khayalanku saat itu. Ibuku terus saja mencubit tanganku yang menggenggam uang dua ribuan untuk ongkos, mengingatkanku agar tidak berisik dan memperhatikan jalan agar tidak lena. Ya, setiap kali bepergian dengan Ibuku akulah yang menjadi penunjuk jalannya.

Hampir saja aku lupa untuk lapor ke supir untuk berhenti, untung saja bapak supir ingat di mana kami harus turun karena saat naik Ibuku sudah bilang kepadanya kemana tujuan kami. Ibuku turun terlebih dahulu dibantu penumpang yang duduk di dekat pintu. Saat aku menyerahkan ongkos kepada supir, dia bilang, “Udah ga usah. Dibawa aja, Neng. Hati-hati nyebrangnya ya.” Sejak itu, aku menyadari satu hal bahwa tidak semua orang jahat kepada Ibuku. Tidak semua orang akan menghina kebutaan Ibuku.

Lamunanku tersadar saat Ibu buta tadi hendak turun. Aku tidak berreaksi cepat hingga Ibu tersebut sudah bisa menepi ke ruas jalan. Dari kaca jendela mobil aku melihatnya menyebrang jalan dengan selamat.

Saat aku tidak bisa selalu menemani dan menjaga Ibuku, aku yakin Tuhan Yang Maha Menjaga selalu menjaganya…

Thursday, August 9, 2012

Is It You?


Happiness is...

Kebahagiaan, tidak 'ya' saat kita 'tidak', bukan 'tidak' saat kita 'ya'. Yen iyo mosok ora, yen ora mosok iyo

A Third Left


Day #18
Hari ini adalah Ramadlan ke-18, hari pertamaku berada di kampung halaman.

Perjalanan yang berbeda dari biasanya. Senang rasanya berhasil membawa temanku ke rumah. Kemarin sore, aku dan ketiga temanku bertolak dari Ibu Kota, mudik critanya! Ditelfon dua kali oleh agen bis -karena tinggal kami berempat yang ditunggu- adalah sesuatu, pake’ banget. Deg-degan, cemas, kalau-kalau karena telat tak ada lagi kepercayaan dari Pak Lik yang baik hati. Haha… akhirnya tepat pukul lima sore armada black bus community meninggalkan terminal.

#1 Ramadlan
Meski jauh dari Ibu dan saudara-saudara, kekeluargaan masih bisa kurasakan bersama keluarga Pamanku. Sore, hari terakhir bulan Ruwah, aku berangkat dari Ciputat menuju Kedoya. Kejadian-kejadian kecil yang berharga aku dapatkan sore itu. Salah satunya adalah bertemu dengan seorang Ibu tunanetra bersama anak kecilnya di angkot, serta bapak supir angkot yang baik. Si kecil yang menjadi guide sang Ibu, di mana mereka berdua harus turun, dan ongkos yang dibebaskan oleh Bapak Supir. Sungguh, pemandangan yang sangat menentramkan hati.

Tarawih pertama bersama adik sepupuku di masjid Metro TV, karena rumah pamanku dekat dengan Metro TV, juga merupakan pengalaman pertama yang berkesan. Ternyata, tidak sedikit orang-orang yang masih bekerja menyempatkan dan meluangkan waktunya untuk tarawih berjama’ah.

Siangnya, tiket gratis the Amazing Spiderman menjadi teman menlewati waktu siang menuju bedug maghrib, lumayan lah… tu film bener-bener amazing. It’s mostly told about responsibility.

#4 Ramadlan
Menjemput adikkakakku dari tempat pengabdian sebulannya.
***

#20 Ramadlan
Aku kembali meneruskan menulis pada setelah kunjungan agung dari teman-temanku:), trima kasih tak terhingga, semoga kunjungan kalian akan terulang di lain waktu dengan porsi waktu yang lebih lama, hehe

Aku mau nulis apa ya?!

Ramadlan kali ini cukup mengesankan, walau ada beberapa hal yang mengganggu ketenangan pikir dan hati, tanpa berniat acuh tak peduli pada masalah, aku memilih untuk banyak diam tanpa mengutarakan dengan gambling apa yang ada dalam pikiranku. Maaaaf… saya tidak bermaksud menyakiti njenengan dan tidak juga berniat forget you at all elements. Tapi, karena saya tidak lagi bisa menghadapi njenengan. Maybe in a several time, maybe at all along time.

#5 Ramadlan
Aku mulai -ikutan- mengisi acara Studi Ramadlan di salah satu Yayasan Pendidikan tingkat SMP. Sebuah sekolahan yang elit dan mengerikan. Banyak cerita yang inspiring kudapat di sekolah tersebut. Keterkejutan yang membuatku hanya bisa ber-oh, hah, dan geleng-geleng kepala juga merupakan reaksi atas apa yang aku temukan di sana. Lain waktu akan kukemas pengalaman ini, semoga:)

#14 Ramadlan
Bahagia rasanya berada di tengah-tengah keluarga baru yang kutemukan dalam sebuah institusi. Menjadi seorang “Kakak” untuk adik-adik yang belajar mengaji tidak hanya menyulut semangat untuk lebih tekun, tetapi juga lebih mengerti betapa berharganya sebuah hubungan baik antar rekan kerja :D trima kasih sajian seafoodnya dalam buka bersamanya, kakak-kakak…

#16 Ramadlan
Mengantri di salah satu konter makan selama hampir satu jam itu sesuatu banget. Tapi demi nuruti ngidam yang sudah cukup lama belum terpenuhi, everything I do dah… :D, hari itu merupakan hari terakhir makan pada waktu maghrib pada bulan puasa di Ciputat sebelum pulang kampong (ribet amat dah bahasanya.. mau bilang buka puasa, tapi ga puasa:D )

A third left of Ramadlan 1433 H
Semoga hidup kita semakin berate dengan menjadi manusia yang bermanfaat…