Saturday, January 12, 2019

Kekuatan Doa

Dalam menjalani peran kehidupan di dunia, kita memiliki satu rutinitas yang seolah menjadi kewajiban seorang muslim. Seperti tidak boleh absen dalam sehari sekalipun: doa.

Bahkan saat masih kecil, kita sudah sangat banyak menghafal doa. Doa makan, doa tidur, doa ke kamar mandi, doa masuk masjid, dan lainnya, sebelum dan sesudahnya. Diajarkan sebagai suatu upaya orang tua untuk membawa anak-anak menuju tangga keshalehan.

Sebagaimana Allah firmankan: berdoalah kepada-Ku maka Aku akan mengabulkan untukmu. (QS. Ghafir: 60). Doa menjadi sebuah sarana untuk meminta. Juga menjadi sebuah pengakuan bahwa kita itu lemah, tak mampu apa-apa tanpa pertolongan dari Yang Maha Mengabulkan Pinta.

Kita meyakini bahwa berdoa tidak harus berbahasa Arab seperti doa-doa yang kita hafal sewaktu kecil. Sehingga kita bebas mau minta apa, saking banyaknya keinginan kita. Hingga tiap kali menginginkan sesuatu, kita khususkan doa, berpanjang-panjang matur maring Allah dalam meminta untuk satu hal saja.

Dan disadari atau tidak, terlepas dari memang pemberian Allah, terkadang sesuatu yang kita dapat bisa jadi karena doa dari kita sendiri atau doa dari orang lain. Doa dari orang lain yang kita dengar juga yang sembunyi-sembunyi dipanjatkan untuk kita.

Seperti "Doa Ara terkabul!", ucap Ara kepada Emak-Abah #KeluargaCemara seraya mengakui doa dalam diamnya. Pengakuan itu kemudian menjadi penenang untuk Emak yang merasa kalut mengetahui kehamilannya di tengah kondisi keluarga yang sulit.

Maka, saat keinginan kita 'menyusahkan' orang lain, seharusnya wajar saja jika kita 'disusahkan' orang lain. Tinggal bagaimana kita menyikapi. Minta dimudahkan yang susah.

Kan bebas mau doa apa.

Pemanis Bibir

Istriku masih tertidur pulas saat alarm berbunyi. Kupanggil namanya juga tak ada respon, padahal dia orang yang mudah dibangunkan cukup dengan bersuara di dekatnya. Biasanya dia selalu bangun sebelum alarm berbunyi dan membangunkanku untuk tahajud bersama. Mungkin dia sedang berhalangan atau kecapaian karena tidur terlalu malam menungguku pulang terlambat karena menyelesaikan laporan akhir pekan. Aku tak tega membangunkannya dan kubiarkan dia tidur dengan mulut sedikit menganga.

Hingga adzan shubuh berkumandang dia tak bergeming. Curiga. aku dekati dia dan kupegang badannya, demam. Panik, tak tahu harus bagaimana merawatnya. Aku selimuti dia lebih tebal mengingat Ibu dulu melakukan itu saat aku sakit.

Kuambil ponsel segera menghubungi seseorang, tapi aku ragu siapa yang harus kutelpon untuk konsultasi; ibuku atau ibu mertuaku. Sambil kupegangi dahinya aku coba berpikir jernih di tengah kepanikan.

"Bu, Denok sakit, badannya demam, aku harus gimana?", kuadukan kepanikanku tanpa basa-basi pada Ibu.
***
Saran Ibu kulakukan tanpa terlewat detailnya, Denok berangsur membuka mata dan memaksa untuk melakukan aktivitas.

"Aku gapapa, Mas.", Denok berdiri sempoyongan hampir jatuh. Ngeyel. Maka kubalik paksa dia untuk tetap tidur.

Menjelang siang, Ibu datang bersama adikku. Baru saja kubuka pintu, Ibu dan adikku tersenyum geli melihat mukaku masih nampak panik.

"Denok di kamar? Ibu siapin makannya dulu yaa.. Nanti Ibu ke kamar.", Ibu dan adikku menuju dapur menyiapkan makanan yang mereka bawa.

"Nok... ada Ibu." Kataku pada Denok yang duduk lemas di sisi tempat tidur. Dia menuju meja rias merapikan wajahnya, kulihat ia memakai lipstik, lalu latihan tersenyum di depan cermin seolah tak ingin terlihat sakit di depan Ibu.

Denok mengajakku ke luar kamar untuk menemui Ibu. Meyakinkanku bahwa dia sudah membaik. Maka, di ruang makan kami bercengkerama dan makan bersama.

Aku dan adikku beranjak ke ruang tengah menghidupkan televisi. Kudengar percakapan Ibu dan Denok sedikit berbisik. Aku kurangi volume televisi berniat mendengar percakapannya.

"Matur nuwun nggih, Bu... sampun rawuh tengokin kami." Kata Denok lirih.

"Nyuwun pangapunten... Denok ga sekuat Ibu, masa gini aja sakit. Jadinya Denok ga bisa mendampingi Mas dengan baik." lanjutnya.

"Ssstt... hati-hati kalau ngomong. Dulu Ibu juga begitu, maunya kalau sakit ga usah dirasa, maksain diri. Tapi itu justru membuat Bapak 'sakit' karena seolah Bapak tak membolehkan Ibu sakit sama sekali.", Ibu terdengar sangat menenangkan.

"Matur nuwun ya, Nok.. udah hormat tamu, udah dandan cantik karena Ibu datang. Cukup lipstik saja yang jadi pemanis bibir, kalau ucapan jangan. Ucapan itu harapan, jadi harus yang baik bicaranya jangan hanya jadi pemanis bibir." nasihat Ibu semakin menenangkan.

Tuesday, January 8, 2019

Bunga di Tepi Jalan

"Mana yang sakit?", tanya Ibu berusaha menenangkan Denok kecil yang menangis setelah jatuh tersandung batu saat berjalan.

Ditunjuknya lutut yang merah terluka, sedetik kemudian Ibu ucapkan bismillah dan meniup lutut Denok yang merah itu. Langsung sembuh. Meski ada memar dan lecet yang terlihat, namun tangisnya langsung berhenti juga sakit yang ia rasa seketika hilang.

Ritual itu sering Ibu lakukan saat Denok terjatuh karena ketidakhati-hatiannya dalam berjalan. Sampai besar pun, ia yang seringkali jatuh (kalau kata tetangga; kurang selametan, dikit-dikit jatuh) mempercayai penyembuhan itu. Obat paling mujarab adalah dari Ibu!

"Hati-hati di jalan.", pesan yang seringkali Ibu ucap sejak Denok kecil tiap kali pamit pergi, khawatir akan keselamatannya dalam perjalanan.

Bagi Denok yang kini telah dewasa pesan itu tidak hanya agar ia selamat secara fisik. Lebih dari itu; hati-hati menjaga mata di jalan, hati-hati menjaga telinga di jalan, hati-hati menjaga hati di jalan.

Maka benar saja, suatu waktu dalam perjalanan pulang kuliah, Denok tergoda untuk melihat sejenis bunga dan hatinya berprasangka, "Apa istimewanya bunga jika hanya di tepi jalan?! Ia dilihat oleh banyak orang, namun tak ada yang memintanya untuk dimiliki.", seolah cemburu.

Padahal dari sisi lain kita layak melihat proses berbunganya yang bisa jadi istimewa. Di jalanan, ia tertempa angin dan hujan yang menjadikannya justru kuat dan bersahaja. Membuat banyak orang mungkin saja berebut memilikinya.

Betapa banyak godaan di jalanan. Hati-hati di jalan!

Sunday, January 6, 2019

Plesiran

"Mas, semua udah siap yaa.", laporku pada suamiku setelah yakin semua bekal untuk perjalanan jauh kali ini rapi terpacking.

***
Kami berdua punya hobi tamasya sejak belum kenal dan menikah.

Tapi sekarang apa yang spesial?

Dulu sebelum menikah, aku sering tamasya bersama teman untuk kepuasan sendiri, koleksi foto diri, sebagai bukti pernah ke sana-sini dan makan itu-ini. Alih-alih biar ga ada yang bilang, "Kurang piknik."

Setelah menikah, tamasya bersama suamiku tidak sekadar memperbanyak foto dan enak kulineran. Seperti saat kami mampir Kudus dalam perjalanan mudik. Aku melihat menu makanan soto khas Kudus dan heran kenapa tidak ada soto daging sapi. Maka suamiku ceritakan sejarah Sunan Kudus dan sapi. Melihat aku manggut-manggut, ia meledek, "Makanya jangan asal piknik aja. Harus sambil belajar biar ga kagetan."

Banyak pelajaran yang aku dapatkan setiap tamasya, plesiran bersamanya. Memahami perubahan, persamaan, dan perbedaan satu daerah dengan yang lainnya.

Selain mengajakku sowan ke ndalem Kiai di daerah yang kami tuju untuk ngangsu kaweruh, terkadang kami mengunjungi makam ulama' penyebar agama Islam. Pernah ia berujar setelah cerita bahwa ulama' yang kita kunjungi makamnya itu adalah seorang pendatang, "Orang jaman dulu juga suka plesiran. Coba kalau ga, bisa jadi daerah ini belum tentu jaya Islamnya. Nah, ini plesiran yang ga pulang tapi manfaat. Kalau Mas plesiran sendiri ya harus pulang, karena ada Denok di rumah." candanya. Merenungi hikmah plesiran.

***
Plesiran kali ini adalah yang paling jauh dari yang sudah-sudah. Setelah perjalanan panjang akhirnya kami sampai di penginapan, ingin segera istirahat karena sudah tengah malam.

Sebelum istirahat, kami hendak shalat. Aku cek arah barat dengan kompas kemudian menggelar dua sajadah depan-belakang.

"Denok udah cek arah kiblat?". tanyanya, aku mengangguk.

"Kalau sekarang shalat menghadap barat, justru kita membelakangi kiblat. Itu ada tanda arah kiblat." katanya sambil menunjuk sebuah tanda.

Ia tersenyum lebar, menertawakan kebodohan istrinya mungkin. "Nah, ini juga hikmah plesiran."

Spesial, kan?!

Saturday, January 5, 2019

Cande Olo

Dulu, orang sepuh selalu marah melihat anaknya masih bermain di luar rumah saat cande olo muncul. Semua mencari anak-anaknya, digertaknya mereka untuk pulang lalu mereka gandeng anak-anaknya meninggalkan area bermain sambil mengomel.

Aku mengintip dari jendela, menertawakan teman-teman yang lewat depan rumah, diomelin. Bukan karena aku anak baik yang sadar dengan sendirinya untuk pulang sebelum sore hilang, tetapi lebih karena tidak ingin kena omelan Bapak. Serem.

Saat cande olo muncul, kegiatan di luar rumah harus berhenti. Semua harus bersiap dengan sarung dan mukenanya menuju surau desa menunggu waktu Maghrib. Meski sesampainya di surau anak-anak akan bermain lagi. Hal itu dimaklumi, asal mereka bersiap sembahyang.

Rutinitas itu berlangsung bertahun-tahun pada masa kecil kami sehingga kami selalu ngeh pada cande olo, seolah menjadi alarm bagi kami untuk mengakhiri semua kegiatan hari itu dan menyambut malam dengan sembahyang mengaji.

Namun, ribuan hari dari rutinitas masa kecil itu dan ribuan kilometer dari surau desa kami, aku seringkali tertahan dalam keramaian orang yang  berebut giliran masuk KRL saat cande olo menyapa.

Semua orang ingin cepat pulang, setelah menerima panggilan elektronik dari sang Mama atau panggilan batin tangisan buah hati. Memang sudah waktunya pulang setelah bekerja seharian.

Aku rindu cande olo ribuan hari lalu saat semua dijemput pulang dengan omelan agar cepat menuju surau. Bukan cande olo kini yang semua saling lempar amarah berhimpitan di antara keringat bau.

Pada akhirnya, kami menyadari bahwa omelan yang dulu kami terima bukan sekedar amarah tetapi bekal menjalani kehidupan masa depan. Cande olo, menjadi waktu pertemuan antara siang dan malam. Bukan karena akan ada Buto Ijo datang sebagaimana Ibu temanku menakut-nakuti anaknya dulu, tetapi agar kita bergegas pulang takut terlewat waktu Maghrib yang singkat.

Maka, apalah makna kehidupan singkat ini jika kita tidak niatkan ibadah semua perbuatan dalam sehari yang kita habiskan di luar rumah?

Lamunanku terbuyar saat seorang teriak tepat di telingaku, "Wooii.. dorong terus geser ke dalem!"

Friday, January 4, 2019

Setinggi-Tingginya Terbang

Waktu kecil, tiap mengunjungi toko mainan aku akan menyisir rak mainan mencari miniatur pesawat. Memandangi, bergumam sendiri, mengagumi betapa kerennya pesawat warna-warni. Alih-alih minta dibelikan mainan.

Mau jadi pilot. Jawabku tiap kali ada yang tanya kenapa aku suka mainan pesawat. Kata Ibu, mataku selalu berbinar saat aku bermain, sambil mengayunkan mainan di tanganku, aku akan teriak, "Terbang tinggi!", kemudian tersenyum. Ayah akan menimpali, "Wah, hebat sekali! Pesawat anak Ayah bisa terbang sangat tinggi!", kami tertawa, senang.

Dulu bagiku, seorang pilot adalah orang terhebat yang bisa menerbangkan burung besi keliling dunia. Bagaimana tidak kukagumi sosok pilot berseragam putih dengan topi di kepalanya, berjalan dengan gagahnya, dan terbang bertandang ke langit biru? Itu lebih keren dari tokoh animasi yang terbang dengan tangan mengepal ke atas.

Beranjak remaja, cita-cita teman-temanku berubah dari taxi driver menjadi dokter, dari spiderman menjadi fireman, dari pramugari menjadi polisi, dan macam lainnya, cita-citaku tetap sama. Pilot. Menjadi orang yang bisa terbang kemanapun.

"Ga mau berubah juga, Nak?", tanya Ibu setelah mendengar cerita tentang teman-temanku.

"Aku masih mau jadi pilot.", kujawab dengan tetap fokus menyusun lego pesawat.

"Menjadi pilot tentu kebanggaan untuk Ayah dan Ibu. Ayah akan bangga melihatmu berkawan awan, terkadang melawannya. Seberapapun seringnya kamu mengunjungi langit, sempatkan untuk duduk beralas tanah.

Ayah Ibu akan selalu bangga padamu selama kamu baik, apapun jadinya kamu. Setinggi apapun ilmu yang kamu miliki, jangan pernah tidak untuk rendah hati."

Pesan itu diakhiri dengan potongan ayat yang dibaca Ayah. Saat itu aku hanya mengangguk-angguk. Mencoba faham.

Dua puluh tahun berlalu. Hari ini, aku akan melakukan perjalanan dinas ke negara sebelah. Sebelum terbang, kudaras beberapa ayat untuk menenangkan hati, kulafalkan ayat yang menjadi pesan Ayah dulu untuk mengingatkan diri.
(وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ)
"Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui" [Yusuf 76]

Thursday, January 3, 2019

Nasihat Pak Tua

Ada seseorang yang seringkali menghabiskan waktunya untuk memikirkan orang lain. Selalu mencari cara untuk membantu yang susah meski dirinya sendiri tengah dalam kesulitan.

Saat seorang kawan meminta bantuan kepadanya untuk yang kesekian kalinya, ia tak pernah menolak, dan dalam hitungan yang sama ia selalu menolongnya. Bahkan lebih dari yang diminta, ia selalu khususkan doa untuk mereka. Tidak hanya satu atau dua kawan, yang lama atau yang baru, atas segala permintaan bantuan raga juga materi.

Tak jarang, kebaikannya disalahartikan oleh yang lain. Dikira hanya mencari muka, dikira membantu dengan pamrih agar dipuja dan dituankan. Sehingga banyak hinaan, cacian, pun fitnah.

Namun nyatanya, ia tak pedulikan omongan orang. Semakin ia disakiti, semakin panjang doa yang ia langitkan untuk kebaikan hidup mereka yang menyakiti.

Ia lakukan semua kebaikan meski tak ada yang tahu. Selayaknya ia mampu meniatkan semua perbuatan baik hanya karena Allah. Hingga ia tak risau atas cela orang lain.

Sore itu, keluarga kecil berkumpul dalam sebuah ruangan membahas celaan yang sungguh melukai hati anak-anak Pak Tua.

"Sudah lah, Pak! tidak usah Bapak mati-matian membantu mereka kalau pada akhirnya mereka hina Bapak", bujuk putra sulungnya.

"Kami ga bisa lihat Bapak diginiin. Sakit hati kami, Pak!", lanjut putra bungsunya.

Pembicaraan tetap berlanjut sementara Pak Tua serius mendengarkan semua pembelaan anak-anaknya sambil memejamkan mata, sesekali menghela nafas panjang, namun dalam hati ia terus berdzikir.

"Pak, kita harus balas..."

"Cukup!", Potong Pak Tua saat anak perempuan satu-satunya angkat bicara.

"Biarkan Bapak menjalani ini semua. Barangkali ini ujian untuk keikhlasan Bapak, akankah Bapak kecewa atau marah.", Pak Tua memandangi anak-anaknya satu per satu. Semua terdiam.

"Akhlak buruk itu... muncul dari hati yang buruk. Istighfar!", Pak Tua melirihkan suaranya.

Semua menerawang, teringat pada wejangan Pak Tua suatu waktu dulu, mengutip sebuah ayat;
(هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ)
[Ar-Rahman 60]

Wednesday, January 2, 2019

Gara-Gara Terserah

"Mas, mau ngunjuk apa?", tanya istriku.

"Terserah", jawabku singkat. Setelah sebelumnya kuminta dia membuatkan minuman hangat.

Tak lama berselang, Denok, istriku, datang membawa segelas air putih hangat. Lalu ia menyusulku duduk berdampingan di kursi beranda rumah, merasakan sisa-sisa hujan semalam.

Aku sedikit menahan kaget. Kulihat istriku menangkap keanehan wajahku, secepat mungkin aku tersenyum padanya.

"Ada yang salah, mas?", tanyanya. Curiga.

"Engga... makasih yaa...", senyumku semakin mengembang, geli.

Berdua saling bertukar cerita, sesekali menyapa tetangga yang lewat depan rumah. Mengenalkan istriku kepada tetangga yang kemaren berhalangan hadir dalam pesta ngunduh mantu.

Tak lama, Ibuku keluar menengok kami berdua di depan rumah

"Lho... belum wedangan tho, Le?" Sapa Ibuku, lalu masuk kembali ke dalam rumah.

Kulihat wajah istriku yang bingung, cemas, dan takut. Kusunggingkan senyum dan kembali bercerita tentang masa kecilku.

"Iki wedange... kita coba pakai gula batu ini. Oleh-oleh dari teman kuliah Ibu, kemaren rawuh ke mantenanmu, Le.. Nok... Ternyata sampai sekarang, di daerah Brebes kalau wedangan isuk ya pakai gula batu ngene iki", Ibuku datang membawa nampan berisi gelas-gelas wedang teh dan beberapa plastik kecil gula batu.

"Nok... kita bikin pisang goreng sebentar, ya... tinggal goreng, Ibu sudah bikin adonannya", ajak Ibuku pada menantu barunya.

"Injih, Bu...", jawab istriku cepat, agak terkesiap.

Sebelum mengikuti langkah Ibuku yang sudah masuk kembali ke dalam rumah, Denok menoleh padaku.

"Mas, ternyata kalau pagi njenengan wedangan teh gini ya?!" wajahnya panik, antara malu dan merasa bersalah. Mungkin sambil menahan kalimat setelahnya; kenapa ga kasih tau aku?! .

Tuesday, January 1, 2019

Bebas

Subuh tadi, suara yang terdengar dari pengeras suara mushala membuat resah semua orang. Bukan karena jeleknya suara dari pengeras suara yang telah tua usianya, namun suara dari pengajian ba'da subuh yang terdengar menggebu-gebu dan memekikkan telinga.

"Mulutnya terlalu dekat dengan mic." ujar salah seorang jama'ah.

"Bicaranya sambil teriak. Di sawah juga kita ngomong biasa aja ga usah teriak." sambung yang lainnya. Kesal.

"Sudah... nanti kita sampaikan saja ke pengurus mushala. Pak Ustadz itu isi ceramahnya bagus, tapi penyampaiannya saja yang kurang cocok dengan masyarakat desa kita." seorang bijak menenangkan.

Sebebas-bebasnya kita boleh berbicara dan berperilaku, ternyata ada aturan yang harus kita perhatikan. Ada adab yang telah diajarkan turun temurun sebagai resep bersinggungan dengan sesama.

Melalui kalam-Nya dan dawuh utusan-Nya semestinya kita bisa mengejawantahkan pedoman hidup. Jika belum mampu memahami semua dawuh, banyak sekali Kiai dan guru-guru yang dari mereka kita bisa ngangsu kaweruh agar bisa paham lakon urip harus seperti apa.

Kita hidup bebas, lepas, terserah, namun bukan berarti tak terarah, bukan tak beraturan. Ada batas-batas yang tidak boleh kita lewati dan selalu ada tali temali untuk pegangan kita saat kita terlalu lepas berlari.

Jadi, kita bisa 'bebas' untuk beberapa hal, bukan semua hal.
Mau piknik kemana kita? Bebas.
Mau makan apa? Apa aja.
Shalat Subuh dijama' aja yaa? Terserah. Nah... ga bisa bebas kan? wkwk

Ingatkan saya yaa kalau saya terlalu lepas.
waAllahu a'lam.