Sunday, August 12, 2012

Aku Menjagamu, Dia Selalu Menjagamu

Namaku Aini. Nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku yang buta. Nama yang indah bagi mereka, menjadi mata dan penyejuk mata, begitu ujar mereka. Bagaimanapun orang lain memandang hina kedua orang tuaku karena kebutaannya, aku selalu bersyukur memiliki mereka yang selalu melihat keindahan semesta dan keangkuhan dunia dengan mata hatinya yang tulus.

Aku tak lama hidup bersama seorang Bapak, usiaku saat itu belum cukup untuk menjadi murid sekolah dasar. Bapak kehilangan nyawa karena tertabrak mobil yang melaju kencang saat ia ingin menyebrangi jalan. Sejak saat itu, aku tak mau melepas Ibuku bepergian sendiri. Aku selalu menemani Ibu saat ingin keluar rumah. Hingga akhirnya aku sudah cukup umur untuk bersekolah, aku mulai belajar melepasnya dengan memaksa tongkat yang selalu ia bawa untuk selalu menjaganya.

Aku masih sangat ingat bagaimana kekonyolanku saat kecil dulu, selalu berbicara dengan tongkat besi Ibu sebelum aku berangkat ke sekolah. Akan mengutuk tongkat itu kalau terjadi sesuatu pada Ibu dan tidak mau lagi berteman dengannya bahkan akan membuangnya. Aku menganggap tongkat itu mempunyai nyawa layaknya manusia. Sungguh, hal itu lucu saat aku mengingatnya sekarang ini…
Aku sudah berseragam putih abu-abu sekarang ini. Suatu kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Rizki yang diberikan Tuhan kepada keluargaku meyakinkanku kembali bahwa Tuhan Maha Pemberi, memberikan rizki kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Ibuku yang berperan menjadi Bapak sekaligus mampu menyekolahkanku hingga jenjang sekolah menengah atas sekarang ini.

Hari ini sepulang sekolah, di angkutan umum aku duduk berdampingan dengan seorang Ibu paruh baya, mungkin seumuran Ibuku, membawa tongkat yang tak jauh beda dengan milik Ibuku, sesekali matanya berkedip berusaha membuka, tetapi tak kulihat bola matanya. Ingatanku tiba-tiba berada di suatu masa dulu…

Aku, Ibu, dan tongkatnya, duduk tepat di belakang supir sebuah angkutan umum. Aku masih suka memakai jepit rambut pita, mungkin juga masih ingusan, masih belum menyadari bahwa tongkat itu tidak bernyawa. Aku hendak mengantarkan Ibu ke salah satu klinik pengobatan karena satu minggu terakhir Ibu mengeluhkan matanya yang terasa sakit.

Di angkutan umum tersebut banyak penumpang yang memperhatikanku dan Ibuku. Aku yang cuek dengan tatapan mereka terus saja bernyanyi sesukaku, sesekali menggoyangkan badanku seolah mengikuti irama musik khayalanku saat itu. Ibuku terus saja mencubit tanganku yang menggenggam uang dua ribuan untuk ongkos, mengingatkanku agar tidak berisik dan memperhatikan jalan agar tidak lena. Ya, setiap kali bepergian dengan Ibuku akulah yang menjadi penunjuk jalannya.

Hampir saja aku lupa untuk lapor ke supir untuk berhenti, untung saja bapak supir ingat di mana kami harus turun karena saat naik Ibuku sudah bilang kepadanya kemana tujuan kami. Ibuku turun terlebih dahulu dibantu penumpang yang duduk di dekat pintu. Saat aku menyerahkan ongkos kepada supir, dia bilang, “Udah ga usah. Dibawa aja, Neng. Hati-hati nyebrangnya ya.” Sejak itu, aku menyadari satu hal bahwa tidak semua orang jahat kepada Ibuku. Tidak semua orang akan menghina kebutaan Ibuku.

Lamunanku tersadar saat Ibu buta tadi hendak turun. Aku tidak berreaksi cepat hingga Ibu tersebut sudah bisa menepi ke ruas jalan. Dari kaca jendela mobil aku melihatnya menyebrang jalan dengan selamat.

Saat aku tidak bisa selalu menemani dan menjaga Ibuku, aku yakin Tuhan Yang Maha Menjaga selalu menjaganya…

No comments:

Post a Comment