Thursday, March 21, 2013

Peluk

Rasanya tak jauh beda dengan tamparan-tamparan sebelumnya. Tapi, saat itu terasa masih sangat pagi untuk menerima sebuah teguran dari atasan. Jari-jemariku mulai bergetar setelah duduk lemas di kursi kerjaku. Segelas air putih seketika habis kuteguk. Arah pikirku tak bertujuan, entah kemana.

Aku ingin segera pergi, sementara tak ingin berada di bangunan di mana aku kena marah pagi itu, karena aku paling takut dengan kemarahan. Namun, dayaku hanya sampai pada menahan tangis, meremas ujung bajuku sendiri, mencari pegangan untuk tanganku, dan kosong...

Aku tak terbiasa untuk menceritakan apa yang terjadi padaku, menuturkan dengan gerakan bibir, atau menguraikan dengan rangkaian kata. Aku butuh ketenangan, dengan caraku sendiri, dengan tidak serta merta menangis penuh adu karena aku tak mau meneteskan air mata di hadapan siapapun. Aku hanya ingin memberitahu apa yang ingin kuberitahu tanpa memaksamu untuk tahu...

Aku menahannnya, tangisan itu. Hingga sesak memenuhi hati...

Aku ingin segera bertemu denganmu, sayang...

Aku ingin segera pulang untuk memeluknya, untuk mendapat balas peluknya, dan tetap menyembunyikan tangisku karena aku tak berani berwajah sembab di depan matanya.

Aku tak kuasa untuk menapak lama di tempat itu. Aku beranjak meninggalkan meja kerjaku mencari sesuatu yang mampu menenangkan. Aku mesrai kalam Tuhan, tapi tangisku semakin menjadi. Aku mencoba mengabaikan segala suara yang terdengar dari imajinasiku sendiri, menyibukkan lidahku dengan nama Sang Pencipta, mencoba mengosongkan hatiku dari segala penyakitnya... Tolong aku, Tuhan...

Aku tak sabar untuk segera memelukmu...

Akhirnya langkah kakiku menuju padanya. Aku pulang membawa segenggam senja. Langkah kakiku selalu ringan menuju rumah.

Dia tengah tidur pulas. Wajahnya indah dengan guratan lelahnya. Aku melingkarkan tanganku ke tubuhnya, menenggelamkan wajahku di belakang tubuhnya, menangis di punggungnya. Aku merasa semakin tenang... Ketenangan yang aku dapat dari tubuh yang menghangatkan, tanpa aku harus bertutur. Aku hanya butuh waktu untuk mengembalikan selaksa ketenangan di hatiku. Percayalah, aku pun tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan...

Terima kasih, putri kecilku...

No comments:

Post a Comment