Wednesday, December 26, 2012

Sewindu Tanpamu dan Aku Masih Selalu Bersamamu

Sewindu yang lalu, aku masih bisa belajar membaca al-Qur'an dengan Ayah, membantu Mamak mengupas bawang saat masak, sering digodain Abang, dan pergi ke surau bersama Kakak. Sewindu yang lalu, adalah terakhir kalinya aku melakukan ritual-ritual semacam itu bersama mereka.

Aku masih kecil untuk berfikir banyak saat itu. Apa yang aku dengar, lihat, rasa, dan raba, semuanya melumpuhkan logika. Aku terus berteriak saat air yang baru kali itu kulihat menerjang segalanya. Tak tertangkap lagi oleh mataku bayangan Ayah, Mamak, Abang, dan Kakak. Sekejap mata aku kehilangan jejaknya.

Terbawa arus, tenggelam bersama gelombang, tubuh ini seperti hendak dihancurkan, tak terbayang sebelumnya bagaimana sakitnya, seberapa banyak air yang masuk ke tubuh kecilku waktu itu, banyaknya luka di tubuhku. Hingga aku tak ingat lagi apa yang terjadi sampai aku terbangun dalam keadaan terlentang di atas ubin sebuah Masjid, yang menggema hanyalah takbir dan istighfar dari lisan orang-orang di sekelilingku.

Ayah... Mamak... Abang... Kakak...

Aku dipeluk oleh tubuh yang sudah lusuh, membisikkan "Allah..." berulang kali di telingaku, terisak, dan semakin erat mendekapku. Mak Cek...

***
Kini sudah sewindu aku hidup tanpa Ayah, Mamak, Abang, dan Kakak. Tak ada lagi senyuman dan pelukan nyata, semua itu kini hanya tinggal kenangan yang tak ingin aku matikan. Setiap korban yang terselamatkan mempunyai cerita yang berbeda, dan kenangan yang tak mudah dilupakan. Kisah Delisa dan hafalan sholatnya adalah satu dari ribuan cerita.

Menggemgam erat tangan Mak Cek, hari ini aku seakan kembali pada kejadian hari itu, sewindu yang lalu. Memandang nama Ayah, Mamak, Abang, dan Kakak, yang tertulis bersama ribuan nama lainnya di dinding Museum Tsunami Aceh.

"Aisha..!"

Aku mendengar suara gadis memanggilku dari sisi kanan aku berdiri. Aku menolehnya, menatap lamat wajahnya, mempelajari garis wajahnya, dan berhasil mengenalnya setelah sewindu tak bertemu. Pada Februari 2005, Mak Cek membawaku ke kota asal suaminya, Kota Bumi Lampung.

"Riani!" Adalah teman sebangkuku saat kelas 1 SD, sewindu yang lalu.

"Peui haba?" (Apa kabar?) sapanya.

"Haba get, kah kiban?" (Kabar baik, bagaimana denganmu?)

"Get Cit" (Baik juga)

Mata kami berkaca-kaca memandang satu sama lain, kemudian haru dalam tangis yang tertumpah di pelukan.

Akan selalu kukirimkan doa untukmu dan saudara-saudaraku semua... Allaahumma 'ghfir lahum wa 'rchamhum wa `aafihim wa`fu `anhum, al-Faatichah...



#SewinduTsunamiAceh
\

3 comments: