Friday, August 5, 2011

Mengeja Lagi

Hari ini aku akan melunasi rindu pada ruang dan waktu yang telah menjadi kenangan. Setelah enam tahun aku tak berada di sini, rasanya sudah benyak perubahan yang nampak. Jalanan tak lagi lengang dengan lalu-lalang kendaraan beroda empat dengan plat nopol warna hitam. Dulu, jalanan ini diramaikan oleh kendaraan umum yang digemari penduduk.

Di desa ini, ada satu tempat yang sangat kukagumi akan keberhasilannya memupuk semangatku. “Waroeng Batja”, sebuah perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum oleh seorang pensiunan guru yang hidup sendiri karena istri dan anaknya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan, namanya Pak Ahmad. Waroeng Batja yang didirikan tiga belas tahun yang lalu oleh Pak Ahmad ini selalu menyapa hangat pengunjungnya dari pagi hingga menjelang maghrib. Minimnya bacaan di desa kami dan kekhawatiran Pak Ahmad atas pendidikan masyarakat setempat waktu itu merupakan motivasi Pak Ahmad untuk merubah ruang tamu rumahnya menjadi Waroeng Batja. Di beranda rumahnya, ada kertas berukuran A4 yang dilaminating bertuliskan, “Tidak ada larangan untuk menempatkan buku bacaan Anda di sini. Semoga bermanfaat untuk semua.”, berharap akan ada yang mewakafkan buku untuk kebaikan bersama dan juga berharap mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten.

Waroeng Batja masih sepi pengunjung saat tahun pertama didirikan. Saat itu, usiaku sepuluh tahun dan aku lah penyantap Waroeng Batja termuda. Aku membaca semua koleksi Pak Ahmad, buku berat pun aku baca, aku terus membaca meski tak paham apa maksud buku yang kubaca. Mungkin saja suatu saat kelak aku akan tahu apa yang ingin disampaikan penulis padaku, pikirku waktu itu. Hampir setiap hari aku mengunjungi Waroeng Batja, aku juga membatu Pak Ahmad merapikan kembali Waroeng Batja saat petang.

Pada tahun kedua, Waroeng Batja mendapat respon positif dari Pemkab. Waroeng Batja mendapat sumbangan sejumlah buku dan sejumlah uang. Tidak hanya dari pemerintah, berbagai instansi juga mengirimkan beberapa paket buku bacaan. Saat itu aku hanya merasakan kebahagiaan karena kepedulian orang lain terhadap Waroeng Batja. Namun beranjak dewasa, aku menyadari itu hanyalah akal-akalan politik, karena saat itu mendekati pencalonan bupati dan memang setelah pemilu bupati usai tak ada lagi lirikan manis dari orang-orang yang pernah kukagumi kebaikannya.

Waroeng Batja mulai ramai pengunjung setelah ada sumbangan-sumbangan itu, mulai dari anak-anak hingga kakek-nenek. Tidak hanya dari desa sendiri, namun banyak pengunjung dari desa tetangga. Aku senang sekali, terlihat tatapan bahagia dari sorot mata Pak Ahmad. Banyak pembaca yang dengan akrabnya berbincang bersama Pak Ahmad, termasuk gadis cilik bernama Ica yang masih sangat lugu dan baru kelas satu SD. Pak Ahmad sangat senang dengan gadis cilik itu. Kepandaiannya membaca membuat Pak Ahmad semakin menyayanginya seperti cucu sendiri.

Saat usiaku tiga belas tahun, aku melanjutkan pendidikanku ke tingkat SMP. Aku mendapatkan beasiswa penuh dari Pemkab karena peringkat pertama se-kabupaten pada ujian nasional SD. Jika tidak ada beasiswa, aku tak melanjutkan sekolahku tentunya.
Aku masih menjadi penikmat Waroeng Batja walau di sore hari sepulang sekolah. Waroeng Batja telah menjadi bagian dari hidupku. Pak Ahmad sering mengajarkan kepadaku tentang banyak hal saat kami berbincang melepas lelah sore hari.

Saat itu, aku hidup bersama kakekku. Ibuku meninggal saat melahirkanku, sedangkan ayahku pergi tanpa kejelasan sebelum aku bisa mengingat wajah dan bau tubuhnya. Aku dan kakekku tinggal di sepetak rumah kecil samping Masjid. Kakek dengan senang hati membersihkan Masjid desa kami dengan tanpa meminta upah. Namun, kami sering menerima makanan, uang, pakaian dari masyarakat sekitar. Aku juga mendapatkan uang dari Pak Ahmad sebagai imbalan membantunya merapikan Waroeng Batja, begitu katanya. Kami merasa sangat cukup, bahkan kami pun bisa menabung. Aku semakin yakin dengan nasihat Kakek waktu itu, bahwa rizki Allah itu datang tanpa dinyana-nyana oleh manusia.

Kakek adalah seorang yang sangat nrima dan bersyukur dengan apa yang ditrimanya. Dia selalu mengingatkanku agar menjadi manusia yang mempunyai rasa perhatian dan prihatin. Dia juga selalu mengingatkanku akan pentingnya hati dan menghayati dalam menghadapi dunia.

Seiring kerentaannya mengikuti usia, kakek sering sakit-sakitan. Uang yang dulu kami tabung akhirnya terpakai untuk biaya pengobatan kakek, kami juga sering meminjam uang kepada Mak Nah, tetangga kami yang sangat baik, saat uang yang kupegang tidak cukup untuk pengobatan kakek. Di tengah sakitnya, kakek selalu bilang bahwa ia menikmati kedekatannya itu dengan Tuhan, ia khawatir kalau saja ia sehat justru akan banyak penyakit di dalamnya.

Suatu sore, kakek mengeluarkan banyak darah dari mulutnya. Aku panik bukan main. Aku tak punya uang sepeser pun untuk membawa Kakek ke Puskesmas, aku juga tak berani meminjam uang pada Mak Nah karena hutang sebelumnya belum lunas. Dan pada sore itulah, aku melakukan hal terbodoh seumur hidupku. Aku menyelinap masuk ke rumah Mak Nah dengan tergesa-gesa, mengambil uang yang ada di kotak jualannya.
Namun, aksiku tertangkap basah oleh suami Mak Nah. Tanpa pikir panjang, dia menamparku dan menghajarku. Aku masih sangat ingat kejadian itu, aku berteriak meminta maaf dan menjelaskan kondisi kakek namun pukulan dan tendangan terus menghajarku. Mak Nah dengan isak tangisnya berusaha melindungiku namun percuma. Mataku kunang-kunang dan tak mampu melawan. Aku melihat Mak Nah keluar rumah dan kembali dengan tangisan yang lebih histeris, mengabarkan bahwa kakek sudah tiada. Mendengar kabar itu, suami Mak Nah berhenti menghajarku dan aku sudah tak punya daya. Aku pingsan.

Hari itu juga aku dibawa ke Puskesmas untuk dirawat. Kondisiku sangat lemah. Aku ingin segera keluar dari ruangan berbau khas itu kemudian menemui kakek walaupun hanya batu nisan yang bisa kutatap. Pak Ahmad menanggung semua perawatanku, dia juga menemaniku sepanjang hari. Mak Nah dan suaminya juga menjengukku sesekali waktu. Aku belum bisa bicara apa-apa atau hanya mengucap maaf, membuka mata pun terasa berat. Tangisan Mak Nah tiap kali menjengukku membuat hatiku semakin perih.

Setelah kondisiku semakin membaik, aku diijinkan pulang. Pak Ahmad membawaku ke rumahnya, memintaku untuk tinggal bersamanya. Dia merawatku layaknya cucu sendiri. Dia sama sekali tidak membicarakan kebodohanku menjelang kakek meninggal. Dia memelukku dengan rasa sayang seorang kakek kepada cucunya.

Aku kemudian meminta maaf kepada Mak Nah dan suaminya. Aku menceritakan niat mencuriku waktu itu. Aku tidak mendengar apapun kecuali isak tangis Mak Nah dan diam suaminya. Saat aku pamit untuk pulang, suami Mak Nah memelukku dan berkata, “Maafkan saya.” Aku merasa tak pantas untuk dimintai maaf. Aku menangis dalam penyesalan.

Luka di tubuhku memang mulai sembuh, namun luka di hatiku masih parah. Aku dan Pak Ahmad mengunjungi makam kakek dan ibuku. Aku menangis penuh sesal. Saat itu aku tak ingin segera beranjak, ajakan Pak Ahmad untuk pulang berulang kali aku tolak.
Hingga akhirnya aku luluh dan pulang dengan mantra Pak Ahmad, “Jadilah anak sholih dan selalu doakan mereka.”

Suatu sore setelah pengumuman kelulusan SMP, di beranda Waroeng Batja terjadi percakapan yang tidak akan kulupa antara aku dan Pak Ahmad.

“Gimana nilai ujian kamu, Nak?” Tanya Pak Ahmad.

“Saya lulus, Pak. Tapi tidak the best lagi seperti waktu SD dulu, hehe.” Jawabku.

“Kamu mau sekolah mana?” Tanya Pak Ahmad lagi.

Aku terdiam sejenak, “Kalau Waroeng Batja bisa dibilang sekolah, saya sekolah di sini saja, Pak.” Celetukku sambil tersenyum. “Sekolah sekarang mahal, Pak. Saya heran, kenapa harus ada uang yang dibilang sumbangan untuk sekolah. Teman-teman saya menyebutnya uang titipan. Teman saya masuk SMA dengan nilai tinggi aja ngasih lima juta. Teman saya yang nilainya sangat kurang, bisa masuk SMA unggulan dengan ngasih dua puluh juta.” Lanjutku.

Pak Ahmad tertawa mendengar ceritaku, “Belajar itu bisa dimana saja. Di sekolah, di rumah, di pasar, di mall, di kolong jembatan sekalipun kamu bisa belajar. Hidup ini adalah sebuah pembelajaran.” Dia menghisap cerutunya, “Saya tidak bisa menghormati orang yang akhlaknya buruk walaupun ilmu yang ada di otaknya itu luar biasa. Ilmu pengetahuan yang ada di otakmu itu jauh kalah pentingnya dengan pendidikan yang ada di sini.” Dia menepuk dadaku tiga kali dengan berkaca-kaca matanya.

Aku ingat waktu itu gadis cilik yang bernama Ica memperhatikan perbincangan kami dari bangku pojok Waroeng Batja tempat ia biasa membaca buku. Aku dan Pak Ahmad terdiam cukup lama dalam pikiran masing-masing. Kemudian, dia mengambil sesuatu dari laci mejanya.

“Pergilah ke pesantren, Nak. Perdalam ilmu agamamu. Perdalam lagi apa yang diajarkan kakekmu waktu masih hidup. Ada teman Bapak di Jawa Timur yang punya pesantren, pergilah ke sana.” Pak Ahmad memberiku secarik kertas, sebuah alamat.
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan setelah menerima kertas itu, aku merasa diusir oleh Pak Ahmad. Namun, aku segera mencari sisi positif dari apa yang dikatakannya.

Keesokan harinya aku pergi dengan bekal seadanya dan sepucuk surat untuk teman Pak Ahmad dari Pak Ahmad. Aku memohon restu pada Pak Ahmad dan orang-orang yang ada di Waroeng Batja saat itu. “Jangan kembali sebelum kamu merasa cukup dengan apa yang kamu pelajari di pesantren.” Kata Pak Ahmad melepasku.

Pagi itu aku pergi dengan penuh harapan dan cita-cita. Selama ini aku selalu merasa belum pantas untuk pulang, aku merasa malu pada pesan Pak Ahmad saat melepasku pagi itu. Tiap lebaran, aku hanya mengirimkan surat untuk Pak Ahmad, mengobati rinduku sebatas itu. Sungguh, sangat banyak pelajaran yang kudapatkan di pesantren. Lebih-lebih, tentang pelajaran “di sini” ala Pak Ahmad.

Kini aku sudah berada di desaku, aku sudah tak mampu menahan rindu dan tak mau memanjangkan rindu lebih dari enam tahun. Kali ini bukan urusan merasa cukup atau tidak untuk melapor rapor pada Pak Ahmad. Aku hanya ingin melaporkan rinduku, pada Pak Ahmad dan semua kenangan.

Di beranda Warung Batja aku melihat Pak Ahmad dan seorang gadis berseragam putih-abu-abu tengah bercanda. Aku senang, seperti gadis itu selalu menemani Pak Ahmad melewati sorenya. Aku menahan air mata, mataku perih menyadari akan hadirnya tangis.

“Bapak…” Panggilku.

Lelaki tua yang terlihat semakin tua dengan rambut putihnya itu menoleh ke sumber suara, berdiri dari duduknya, diikuti gadis Ica itu. Aku, Pak Ahmad, dan Ica, tersenyum haru.

Kami larut dalam lingkaran kenangan. Ujung hari ini sangat indah.


Jepara, 5 Ramadlan 1432 H

1 comment:

  1. Lugas, cerdas, bernas, menunjukkan kesederhanaan dalam memahami makna yang luar biasa....

    ReplyDelete