Saturday, August 27, 2011

Lebar, Lebaran :)


Sebentar lagi Ramadlan lebar (selesai), kita Lebaran deh… Setelah puasa satu bulan, Idul Fitri deh, kita kembali makan… Yihaa

Tak sedikit perbedaan suasana pada saat Lebaran dengan hari-hari biasa. Disaat Lebaran akan kujumpai lagi Kupat yang dimaknai oleh Javanese sebagai ngaku lepat (mengaku salah) dan Lepet sebagai luput (salah) yang menjadi pengobat rindu karena hanya dapat kunikmati dua makanan khas lebaran ini dengan kekhasan rasa di hati setahun sekali di rumah.

Kemudian, diakui -- walaupun dengan malu-malu -- atau tidak, baju baru sudah identik dengan Lebaran. Tak jarang masyarakat berblonja-blanji baju untuk dikenakan pada hari Raya. Stimulus lingkungan atau keselaluan yang didapatkan akhirnya menjadi keharusan seseorang untuk menghadirkan baju baru di tengah suasana Lebaran.

Pengertian yang harus diajarkan sejak dini tentang semua kekhasan Lebaran adalah berbagi dan tidak berlebihan. Aku sangat bersyukur, sejak kecil, orang tuaku telah mengajarkan kepadaku dan saudara-saudaraku untuk tetap tidak lebay berlebihan dan berbagi kebahagiaan, berbagi rizki dengan sesama. Soul Lebaran bukan dilihat dari baju baru, banyak makanan, dll.

Boleh saja berbaju baru saat Lebaran, tapi kalau tidak ada ya jangan dipaksakan. Baju baru hanyalah simbol kebaruan. Namun, bukan berarti dengan berbaju baru kita otomatis baru. Siapa tahu malah ada penyakit baru. ‘Kan ada tuh lagu anak-anak, “Baju baru Alhamdulillah ‘tuk dipakai di hari raya, tak punya pun taka apa-apa masih ada baju yang lama”. Social learning pada anak seperti ini juga harus dibarengi aksi orang tua agar pengertian akan makna Lebaran tidak salah terima.

Lebaran bukanlah saat untuk berfoya-foya dengan makanan. Tak perlu mewah-mewahan, cukup seperlunya saja. Kupat, Lepet, Lontong, Opor, dan masakan lainnya harus disesuaikan dengan keperluan, untuk suguhan saudara yang datang dan ater-ater tangga. Kalau masaknya kebanyakan jadinya lebih, kalau lebih dibuang-buang sayang, berlebihan akhirnya.

Lebaran adalah event yang baik untuk menyambung tali silaturahmi. Tradisi mudik bagi perantau esensinya bukan hanya sekedar berkumpul dengan keluarga dan bersenang-senang, namun lebih dari itu yaitu menjaga silaturrahim. Kemudian setelah Lebaran berakhir pun silaturrahim harus tetap terjalin.

Salah satu tradisi Lebaran Indonesia yang not least adalah saling memaafkan. Sengaja berdatangan (unjung bada, Jawa) atau berkumpul dalam satu tempat untuk saling bermaafan. Cerita dari Bapak dulu, tradisi Lebaran yang satu ini merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Ulama Jawa memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Kemudian akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama.

Ritual unjung silaturrahim meminta maaf dan meminta restu ke rumah saudara dan tetangga menghadirkan suasana yang aih bagiku. Mengincar suguhan jajan yang menggoda, dan siapa tahu dapat uang jajan ala Lebaran. A ha… Mumpung lebaran, ‘kan jarang-jarang aku bisa bertemu keluarga dan tetangga.

Untuk meminta maaf dan memberi maaf memang seharusnya tidak menunggu Lebaran saja. Ketika kita merasa punya salah, maka sebaiknya kita segera meminta maaf. Bahkan memberi maaf sebelum diminta itu lebih baik. Bisa saja ‘kan kita gengsi untuk meminta maaf dengan sesama, beda dengan memohon ampun pada Gusti Allah. Maka, bagi kebanyakan orang Lebaran mendapatkan apresiasi yang hebat karena menjadi momen yang penting untuk saling memaafkan dan berefek positif pada kembalinya kerukunan dan keakraban satu sama lain.

Bagiku, nyuwun ngapura pada tiyang sepuh dengan sungkem (Sungkem juga kayaknya merupakan budaya Jawa) merupakan satu hal yang istimewa. Selepas sholat ‘Id, kami sekeluarga melakukan sungkeman meminta ngapura kepada yang lebih tua (yang paling kecil ga ada yang nyungkemi deh, hehe). Bukan berarti yang sepuh tidak meminta maaf, karena setelah kita matur minta maaf, orang sepuh selalu bilang, “Podo-podo, aku ya dingapura… … …”, kemudian harapan dan doa dari yang sepuh pun dilangitkan.

Tentang matur nyuwun ngapura, aku punya pengalaman tersendiri. Dulu saat giliranku sungkem aku selalu diam tak berkata apa-apa, tepatnya aku hanya menggumam tak jelas dan mungkin yang aku sungkemi mengiraku mengucapkan kata maaf seperti Mbak-Masku dan saudara-saudaraku yang lebih dulu gilirannya, membisikkan kalimat yang sepertinya sudah dihafal di luar kepala. Hingga pada saat aku kelas satu tsanawiyah mungkin sudah dianggap gede jadi aku mulai bisa matur. Ceritanya, saat aku silaturrahim ke rumah mbah tetangga dengan saudara-saudaraku sungkem pun dilakukan. Saat giliranku, mbah tadi berkata, “Hayo matur apa? Kok meneng wae?”, akhirnya aku matur, “Ngaturaken Sugeng Riyadi (bukan nama orang), nyuwun ngapunten sedaya kalepatan lan nyuwun tambahe pangestu.” Berhasil, haha.

Memasuki Lebaran, kita diharapkan untuk meningkatkan kualitas religiusitas dan hubungan sosial yang harmonis setelah diasah satu bulan sebelumnya. Berburu pahala dan bonus plus-plus yang mungkin kita lakukan di Ramadlan, semoga bisa kita lanjutkan di bulan-bulan setelahnya. Ketika bertemu lagi dengan Ramadlan, kita tingkatkan lagi kualitas kita, begitu seterusnya ‘kan keren. Kita dekat dengan Gusti Allah dan sesamasemuanya, Semoga… ;)

No comments:

Post a Comment