Monday, September 6, 2010

Terang dalam Gelapnya

Sebelas Ramadlan pagi, Cipete sudah menawarkan kesibukan. Beberapa karpet sudah tergelar rapi di ruang tamu suatu rumah yang tak begitu luas namun juga tak sempit. Aku masih orang baru disini, meski ada beberapa orang yang kukenal. Di depan halaman rumah ada satu papan putih bertuliskan “Selamat Datang Peserta Pesantren Ramadlan Tunanetra”.

Pukul sepuluh pagi peserta Santram sudah berdatangan. Menyambut hadirnya, membantunya memasukkan sandal ke dalam kantong plastik, dan menuntunnya masuk ruangan. Ruang tamu itu sudah cukup padat. Sekitar empat puluh tunanetra sudah saling sapa, salam, dan bercakap. Tugasku adalah mendampingi mereka. Walau kelihatannya hanya memegang tangannya dan kemudian menuntunnya jika mereka ingin beranjak dari duduknya, yang seperti ini  justru membuat hatiku campur-aduk rasanya. Aku sangat canggung dan lebih sering bengong tanpa sadar.

Entah ada berapa pertanyaan yang tiba-tiba muncul di otakku, membutuhkan jawaban dari fikir dan hatiku. Karena baru kali ini aku berada di tengah-tengah komunitas tunanetra seperti ini. Dan anehnya, dan juga yang membuatku malu pada diriku sendiri adalah aku mual ketika harus menikmati makanan berbuka di dalam satu ruangan yang sama dengan mereka. Allahu rabbi... padahal mereka saudaraku!
Pesantren Ramadlan ini difokuskan pada pembelajaran Al-Qur’an Braille. Mulai dari mengenal huruf arab dengan sandi braille hingga makharijul huruf dan tajwid Al-Qur’an. Mereka benar-benar semangat untuk bisa membaca Al-Qur’an, pun dengan huruf braille. Bahkan ada yang sangat fasih dan indah lagunya ketika melantunkan kalam Allah.

Perlahan aku mulai masuk ke dalam dunia mereka, canggungku mulai hilang. Aku tak lagi takut hanya karena melihat sklera mata mereka. Aku tak lagi takut hanya karenamenjadi matanya ketika berjalan dengan menggandeng tangannya dan menuntun langkahnya.

Aku pun akhirnya turut sedikit mengerti tentang sejarah huruf braille. Sandi-sandi itu sedikit aku fahami. Titik 1 adalah huruf a, titik 1-2 adalah b, titik 1-4 adalah c, dan seterusnya. Titik 2-4 adalah huruf i, titik 2-3-4 adalah s, titik 1-3-4-5 adalah n, dan titik 1 adalah a. Begitu sandi untuk menulis “Isna”.

Tak hanya itu, banyak cerita yang aku dengar dari mereka, meskipun mereka tak tahu apakah air mata yang menetes di pipiku, atau senyum yang menyimpul, atau mendengarkan dengan kantuk, mereka hanya yakin satu hal bahwa mereka ‘didengar’.

Ayu, gadis seumuranku bercerita tentang terang dunia yang dulu dilihatnya hingga terang dalam gelap pandangan matanya saat ini. Dia mulai tak awas saat dia duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Berawal dari sakit mata, penglihatan tak jelas yang disangka miopi, hingga akhirnya dia hanya mampu membedakan terang dan gelap, hanya sedikit cahaya yang ditangkap pupil matanya. Sejenis ini mereka menyebutnya low vision. (hmm... jantungku sempat berdegup kencang ketika mendengar kisahnya ini, miopi dan kacamata minus. Na’udzubillahi min dzalik).

Bang Jaja adalah salah satu tunanetra low vision. Dia masih bisa membedakan terang dan gelap, siang dan malam. Dia bercerita bahwa organ matanya masih sangat bagus, matanya tak berfungsi utuh karena syaraf mata yang terputus. Kalaupun dia mau donor mata, matanya itu masih bisa difungsikan orang lain. Melihatnya sekilas seperti orang awas lainnya. Pernah suatu saat ketika dia pergi sendirian dan tidak memakai tongkat, Bang Jaja tak sengaja menabrak preman pasar dan karena dilihatnya seperti orang awas preman itu hampir saja menghabisi nyawanya dengan pisau.

Ada juga yang buta total, tak sedikitpun bayangan dari dunia nyata yang dapat diraba oleh retina mereka. Tapi mereka tetap melihat untuk terus berjalan, untuk terus mewujudkan impian. Diantara mereka ada yang berprofesi sebagai seorang guru di sebuah SLB ternama di Jakarta, ada yang sudah mengcumlaudekan pendidikan strata satunya, dan berbagai profesi lainnya yang tak jauh beda dengan orang awas lainnya.  Aku berulang kali bertepuk tangan dalam hati, gemuruh, sebuah apresiasi tinggi untuk mereka yang tetap berdiri dalam kondisi seperti itu.

Tentang tuan rumahnya, mereka adalah orang yang kaya, harta dan hatinya, baik sekali. Pasangan suami-istri itu mempunyai empat anak, dan sepertinya mereka sudah mengajarkan untuk senang berbagi dengan sesama kepada anak-anaknya sejak kecil.

Si pemilik rumah, Mpo’ Jah, mempunyai tiga adik yang kesemuanya tunanetra, hanya Mpo’ Jah yang dianugrahi penglihatan normal di antara saudara kandungnya. Waktu itu, keterangan dokter adalah karena ibu dan bapak dari Mpo’ Jah masih ada hubungan saudara. Dan ketika aku tanya kenapa, Mpo’ Jah hanya menjawab, “Kagak tahu, neng... pokoknya ya kagak cocok ajah darahnya. Gitu kata dokter, neng...”. Aku jadi ingin tahu jelasnya. Tuturnya lagi padaku, dia bersyukur mempunyai suami yang jugawelcome dengan sesama. Pelajaran yang dapat kuambil dari Mpo’ Jah adalah kebahagiaan ada ketika kita membagi kegembiraan dengan sesama. Satu lagi (ga’ penting amat sih), arsitektur rumahnya unik dan menarik, bisa jadi referensi. Haha.

Menjelang buka puasa, aku dan kawan-kawanku menyiapkan makanan berbuka untuk mereka. Ta’jil dengan bubur sum-sum, teh hangat, gorengan (bukan wajan) tempe mendoan, serta kurma. Pegang tangannya lalu bilang, “Bu, ini buat ta’jilnya”, makanan pun berpindah dari tanganku ke tangan mereka dengan teratur dan rapi.

Setelah menikmati menu ta’jil tadi, tugas selanjutnya adalah mengantar mereka bergantian mengambil wudlu. Kejadian lucunya, ketika mereka berjalan sendiri dan memang belum hafal medan, terkadang mereka tabrakan satu sama lain. Tawalah yang terdengar, bukan sebuah cercaan atau saling menyalahkan. Meluruskan shof sholat juga kami –aku dan kawan-kawan volounteer- yang mengaturnya. Setelah sholat maghrib, nasi pun jadi santapan. Nah, saat itulah perutku mual-mual bojes –mboten jelas-. Hm...

Menjelang tidur, ada satu te-en yang mengaji Al-Qur’an. Surat Yusuf yang dibacanya, dia hafal. Tartil sekali, sifat dan makhraj hurufnya sangat jelas dan benar. Dan aku jarang sekali mendengar orang mengaji sebagus ini di sekitar tempat tinggalku saat ini. Untung saja aku nyantri, jadi di tempat nyantren itu masih banyak kawan-kawanku yang membaca Al-Qur’an dengan menggunakan tajwidnya. Lain lagi dengan suatu komunitas yang sering aku temui di masjid kampus, kedengarannya sangat bagus tilawahnya, namun setelah diperhatikan dan didengarkan secara seksama, banyak sekali kesalahan. Terkadang yang harusnya dibaca satu alif jadi tiga alif, terkadang bacaan idzhar dibaca ikhfa’, dan sebagainya. Semoga saja kesalahan khofi, karena aku belum berani menegur yang salah dan khawatir bakal repot dengan orang yang kutegur nantinya.

Aku jadi ingat satu masa, ketika aku mulai berjilbab beneran dan nyantri di desa Kerjasan Kudus. Aku mempunyai satu guru ngaji yang indra penglihatannya tak berfungsi. Mbak Rofah. Ceritanya, ketika SD dulu beliau sakit mata dan panas tinggi yang akhirnya menyebabkan kedua matanya tak lagi melihat. Dan mulai saat itulah beliau menghafal Al-Qur’an sampai khatam dengan cara mendengar ayat per ayat yang dibacakan Ibunya. Subhanallah... maka ni’mat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?!

Juga ingat kenakalanku saat itu. Ketika nyetor hafalan di hadapan beliau, terkadang mataku melirik mushaf yang ada di depanku –yang sengaja aku buka- ketika akuplegak-pleguk hafalannya. Atau kadang membaca Al-Qur’an binnadzar dengancelele’an. Juga bercanda dengan temanku ketika masih antri ngaji. Kadang juga aku sengaja ngaji paling akhir, dan ketika sudah sepi antri aku lari-lari kecil masuk aula ngaji tanpa berjalan dengan lutut. Astaghfirullah... Padahal Kau tak pernah tak melihat dan tak pernah tak tahu, Tuhan...

Salah satunya adalah darimu, Mbak Rofah, aku belajar dan terus belajar tentang menerima dan keseriusan. Nyuwun pangapunten semua kenakalan dan kelicikanku waktu itu, nggih... Allah pasti menjagamu.

Hidup itu belajar, belajar itu hidup, hidup itu terus menerus, belajar itu terus menerus. Dari mereka, aku banyak mengambil pelajaran. Tentang keikhlasan, kesabaran, keseriusan, kekeluargaan, dan banyak lagi. Kalian lebih hebat daripada kami aku. Kalian hidup dalam kegelapan penglihatan, tapi aku yakin kalian menemukan celah menuju terang di hati kalian. Trima kasih, kawan... untuk pelajaran hidup kali ini. Bahwa hidup adalah saling merepotkan.

Aku harus kaya, kaya hati, dan semoga rizki pun melimpah hingga aku hidup terus bersyukur dan bahagia dan berbagi kebahagiaan. Ketika aku tak lagi dibutuhkan maka aku mati, sebelum aku mati aku harus berarti. Aku akan terus mengisi gelas kacaku, walau tak sampai penuh aku mengisinya semoga penuh arti, dan tak akan membiarkan gelas kacaku itu pecah berkeping-keping. Semoga...

Ya Bashir... iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin...

Rumah sunnah,
Sugeng enjang, 15091431.

No comments:

Post a Comment