Monday, September 6, 2010

Seperti Itu… Sebisaku Mencintaimu

            Aku menyamankan diri di kursi yang cukup strategis ini. Kubiarkan diriku turut melaju bersama kereta menuju tempat yang sudah empat tahun tak kusapa, juga kunjungi. Ku keluarkan sebuah novel setebal 654 halaman dari tasku. Kubuka halaman yang sudah kubatasi dengan foto usang bergambar wanita cantik, Amah, begitulah aku memanggil ibuku. Kupandangi sejenak sketsa gambar teduh itu dan berucap lirih, “ Aku pulang, Mah”. Seratus persen sadarku, aku bahagia.
            Amah, wanita tangguh yang selalu menguatkan aku dan ayahku, Abah. Begitu lambat laun aku menyadarinya. Kurang lebih 1475 hari yang lalu Abah pulang memenuhi janjinya pada Yang Maha Hidup setelah dua tahun sebelumnya berusaha damai dan tenang dengan sakitnya. Abah yang baik dan bijaksana selalu mengajariku bagaimana menjawab soal hidup dengan mudah, pun kami tahu bahwa hidup ini bukan matematika yang butuh rumus pasti untuk memecahkan jawabannya. Ah… terlalu banyak kisah manisku dengannya, ingatanku cukup penuh dengan dokumen penting kenangan bersamanya.
            Seorang ibu sebaya dengan Amah duduk di sebelahku. Kereta terus melaju. Kutoleh sebentar ibu itu, aku kembali membaca, kutoleh lagi, membaca lagi, kutoleh lagi, membaca lagi, dan sebenarnya aku tak tahu mengapa aku bertingkah seperti ini. Hingga akhirnya, entah sampai pada tolehan ke berapa dan pada menit ke berapa sejak aku bersebelahan dengannya, dia pun menyapaku lebih dulu.
            “Kamu kenapa, Nak? Dari tadi Ibu perhatikan, diam-diam kamu mencuri cantikku?”. Suaranya serak, wajahnya makin cantik saja ketika senyumnya mengembang. Amah pasti tak kalah cantiknya dengan ibu narsis ini.
            “Oh… Iya, maaf… Saya ingat ibu Saya”. Jawabku seramah mungkin. Kulepas topi yang menutup kepalaku. Yes… Ibu itu tersenyum lagi, artinya aku tak salah bertutur.
            “Sudah berapa lama kamu ndak bertemu ibumu? Dan sekarang kamu mau pulang?”. Tanyanya kemudian seolah tahu tujuanku berada di kereta ini. Aku hanya menyimpul senyum tak tahu harus menjawab apa dan takut diekori pertanyaan lain.
            Lagi-lagi ibu itu hanya tersenyum, “Siapa namamu?”
            “Azka”. Aku menerawang, “Kaka…”
            Aku jadi ingat suatu waktu, saat aku sudah mulai lancar mengaji Al-Qur’an, kalau tak salah ingat usiaku tujuh tahun. Sepulang dari tempat favoritku setiap sore, dimana aku sering sekali ngumpetin sandal teman, lari-lari dikejar guru ngajiku, menghafal surat pendek sebagai hukuman atas kenakalan wajarnya anak kecil. Tempat itu punya nama Taman Pendidikan Al-Qur’an.
            “Kaka… Ka.. Kaka sayaaang…”. Panggil Amah penuh sayang sore itu.
            “Iya, Mah…” Jawab Kaka kecil masih lengkap dengan kostum ngaji warna ijo.
            “Tadi Lek Ayi kesini lho… sama Dek Rafa, tapi buru-buru pulang takut kemaleman nyampe rumahnya”. Kata Amah ketika kucium tangannya kemudian peciku dilepasnya dan keningku pun dicium.
            “Abah mana?”. Tanyaku.
            “Abah di rumah Pak Amin, syukuran kasih nama anaknya”. Jawab Amah.
            Aku beranjak menuju kamar. Sebelum jauh dari Amah, badanku berbalik. Mata Amah menyipit dan keningnya mengernyit.
            “Mah, kapan Kaka punya adik?”. Tanyaku penuh harap.
            Sebenarnya aku melihat ekspresi kaget di wajahnya saat itu, tapi aku belum bisa menangkap alasannya. Amah berjalan medekatiku, memegang pundakku, dan berdiri dengan lututnya, memandangiku, “Dek Rafa ‘kan adiknya Kaka…”
            “Tapi teman-teman Kaka punya adik beneran, Mah”. Sanggahku. Jika sekarang kuedit ucapanku itu, maksud adik beneran adalah adik kandung.
            “Dek Rafa ‘kan udah jadi adik beneran Kaka juga. Ganti baju dulu ya, sayang…”. Jawab Amah lalu pergi meninggalkanku.
            Kaka kecil beranjak dewasa. Ketika aku menjadi murid kelas 2 SMP aku baru tahu bahwa aku tak akan mempunyai adik beneran karena rahim Amah telah diangkat tiga bulan setelah melahirkanku. Aku benar-benar baru tahu sebab dan akibatnya saat itu.
            Aku pernah protes pada Amah kenapa aku dipanggil Kaka, seperti menumbuhkan harapan padaku untuk mempunyai seorang adik yang nantinya memanggilku Kakak. Alasanku, banyak teman-temanku yang bilang aku ini anak manja karena tak punya adik. Sangat sederhana penolakanku atas status anak tunggal, dan aku sendiri yang memperrumit. Aku puasa ngomong seminggu setelah itu, Abah akhirnya mendekatiku perlahan dan memahamkanku. Aku telat menyadari, pasti Amah lebih sakit daripada aku. Aku terlalu egois dari dulu.
Mah… Maafin Kaka ya…
            Teman dudukku mulai menikmati timangan kereta, lelap. Aku kembali pada bacaanku. Sesekali melirik wajah yang ada di kertas foto itu, sesekali melayangkan pandang ke luar jendela, sesekali mengingat masa lalu yang masih sangat jelas rekamannya.
            Abah mulai sakit-sakitan sejak aku kelas 2 SMA. Tiap pagi sebelum berangkat sekolah aku menemani Abah untuk sarapan sinar matahari di teras rumah. Sepuluh menit aku bisa sampai sekolah dengan onthel andalanku. Siangnya, aku kembali menemani Abah mengingat a-b-c dan a-ba-ta. Aku tak tahu tepat apa nama penyakit Abah, melihatnya tak ingat huruf saja aku tak tega. Pernah juga empat hari Abah lupa siapa aku dan Amah. Seakan memorinya terhapus, dan kami berusaha membantunya ingat kembali.
            Abah sampai pada janjinya untuk kembali, sehari setelah ujian kelulusanku di SMA. Aku sempat off beberapa hari setelah kepergiannya. Amah jatuh sakit. Bersyukurnya kami karena kami memiliki saudara, teman, dan tetangga yang begitu baik dan memperhatikan kami. Kondisi kami pun perlahan membaik kembali.
            Amah sering menyendiri di teras belakang rumah sejak itu. Lebih sering menutup rambutnya dengan sorban putih Abah. Menghabiskan senja dengan membaca Al-Qur’an di sana.
            Inilah awal perang batinku yang tak semua orang tahu dan mengerti. Amah menuntutku untuk menjadi seperti Abah, “Kaka harus begini… ga boleh begitu… ingat Abah dulu seperti ini… bukan seperti itu…”, begitu tuturnya. Bayangan Abah dihadirkannya di jiwaku. Aku didikte. Amah jadi sering marah dan lebih keras saat menegurku. Abah, Abah, dan Abah. Dan aku tak mau menerima. Aku masih tetap terlalu egois.
            Aku mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan studi lepas SMA di luar kota. Tapi tak ku dapatkan ijin pergi dari rumah. “Kaka harus tinggal di rumah”. Begitu tegas Amah. Saat itu pun aku masih saja egois, beasiswa itu tetap kupenuhi dengan pertimbangan keluarga Lek Ayi -adik beneran Amah- menjadi tetangga dekatku. Aku tetap pergi, dan Amah marah besar.
            Empat bulan berada di perantauan, setiap Amah menghubungiku via telepon yang kudengar hanya luapan amarah dan all about Abah. Akhirnya kuputuskan untuk tak mau dihubungi dan tak juga menghubungi.
            Kulihat teman perjalananku ini sudah sangat lelap. Setengah perjalanan lagi aku sampai di stasiun terakhir. Hapeku berderit. 1 message received.
Azka Otoooong… … sori g nganter kmu td n sori jg br krm sms.slmt jln y..aq sngat b’syukur kenl kmu.kmu bacaan unik yg tak mudah dmengerti.it’s really 100% my pleasure..^_^.. slm bwt rafa.amah jg,,aq yakin kmu ga perlu adu emosi.hehe..overall,gw suka gaya loe,bro!!
            Oza, gadis baik, teman tololku. Setahun aku berada jauh dari rumah, aku bertemu dengannya dan akrab juga akhirnya. Aku ceritakan tentangku, Amah, Abah, adik sepupuku Rafa yang lebih muda lima tahun dariku dan yang aku paksa menjadi adik beneranku, tentang kenakalan masa kecilku, bahkan desain mimpi-mimpi masa depanku. Gadis cerdas ini punya banyak ide gila yang jarang mengecewakanku.
            Enam belas bulan di kota rantau aku mendapat kerja sampingan. Ide cemerlang Oza episode ini adalah memotong tiga per empat gajiku untuk dikirim ke rekening tabungan Amah. Beberapa bulan Amah tak menyadarinya, tapi akhirnya Amah tahu juga -entah darimana, dari siapa- aku lah pelakunya. Aku tak mau tahu dan tak peduli apa reaksi Amah. Yang sedikit melegakanku, Amah tak marah. Buktinya, tiap bulan memberi uang saku pada Rafa sambil berkata, “Ini dari Abangmu, bilang terima kasih ya…”. Begitu cerita Rafa ketika kami bertemu di dunia maya.
Ide selanjutnya adalah… Oza memintaku untuk menjadikan Rafa tukang bunga dua kali setahun. Jadi, tiap lebaran dan ulang tahun Amah, Rafa memetik mawar -yang untungnya selalu tumbuh- di pekarangan rumahku kemudian memberikannya pada Amah.
“Budhe, ini buat Budhe, dari jagoan Budhe”. Lapornya sambil menyerahkan setangkai mawar hasil petik dari pekarangan rumah sendiri, bukan dari toko bunga.
“Kamu ini ada-ada aja, Nang”. Jawab Amah tak begitu peduli.
Entah Amah menyadari atau tidak, Rafa hanya mempersembahkan setangkai mawar pada dua moment yang kurasa penting dalam setahun. Rafa hanya melapor untuk dan dari siapa bunga itu, tanpa menyebut jelas nama jagoan yang dimaksud. Selama aku rajin mengirim komik pesanannya, rahasia ini dijamin aman.
Rafa juga sering mengajukan pembelaan setiap namaku dihakimi di tengah keluarga besarku.
“Bang Kaka baik kok… dia saja yang malu dibilang baik”. Begitu belanya.
Mungkin benar, aku sudah dicap tidak baik oleh keluarga besar Abah dan Amah. Karena hingga saat ini pun aku tak mau menghubungi Amah dan keluarga yang lain. Maksimal, aku hanya menitip salam lewat Rafa ketika kami mengobrol di Yahoo Messenger. Toh, dunia ini tak kurang teknologi untuk berkomunikasi jarak jauh. Aku hanya mengiyakan hatiku bahwa aku masih dan akan selalu menyayangi Amah dan keluargaku, hanya mungkin caraku yang tak bisa diterima.
Kereta ini terus melaju tanpa basa-basi. Mataku mulai berat, mulai ngantuk, tapi aku tak mau melewatkan perjalanan ini begitu saja. Walau di luar jendela cahaya rumah penduduk tak termakan gelap, aku tetap menikmatinya.
“Kamu ndak tidur, Nak?”. Tanya ibu sebelahku. Entah siapa namanya, hingga kami berpisah pun aku lupa tak bertanya nama. Lagi-lagi Aku menjawabnya dengan senyuman.
“Eheheheheh… kamu lucu, siapa namamu tadi? Zaka.. Aka…”.
“Azka, Bu… Kaka”. Aku membenarkan. Ibu itu terkekeh lagi.
Amah, sudah lama aku tak melihat senyummu, gambar yang ada di tanganku kini pun tak bisa memuaskanku. Oza, Rafa, tengs udah membantuku meredakan perang batinku.

Rafachakep: Bang.. Budhe skrg sering crita tntg Abang. Senyum2 sndiri, tiba2 nangis. Pokokny, kalo Rafa k rmh Abang skrg sering didongengin kisah anak yg kabur. Hehe kapan pulang Bang?
Azka: ntar nunggu abang skses n lu2s dl J
Rafachakep: yaaahh.. kpn sksesny?Abang tu kbangeten. Lebaran jg ga plg, nelf keek kalo ga mo pulg, dikira ga punya dosa apah?! Dikutuk budhe jd kodok br tao rasa loh
            Azka: SSsssstt.. dah ga’sah ribut. Aku pasti pulang kok
Begitu percakapanku dengan rafa di YM suatu saat pada tahun ke tiga bangku perkuliahanku. Entah apa nama dinding yang menghalagiku waktu itu.
            Kutangkupkan tanganku menutup wajahku, merasakan hangat air di ujung-ujung mataku. Aku sudah sangat lama menghalangi diri, membiarkan hatiku beku, tak secelah pun kubuka hati dan diriku untuk sedikit melakukan yang diharapkan Amah dan keluarga. Allahku… jangan biarkan hatiku kembali beku. Rabbi ighfirliy…
            “Udah nyampe Kendal, turun di Tawang, Le?”. Logat jawa ibu itu membuyarkan lamunku.
            “Iya, Bu”. Jawabku tetap singkat.
            “Nanti Ibu dijemput sama anak Ibu yang nomer tiga. Dulu waktu masih ada bapaknya anak-anak, Ibu sama Bapak langsung naik taksi dua puluh menit nyampe rumah.. .. …”. Ibu itu mengakrabkan suasana di ujung perjalanan dengan bercerita tentang sejarah pribadinya.
            “Mampir kalau mau”. Tawarnya.
            “Makasih, Bu… Ibu saya juga udah menunggu saya pastinya”. Tolakku halus dengan alasan.
            Matahari belum sepenuhnya membulat. Aku langkahkan kakiku menuju mushola pinggir stasiun untuk sholat subuh sebelum melanjutkan perjalanan dari stasiun menuju bukit rinduku.
            Aku tutupi kepalaku dengan topi hitam bertulis namaku di sebelah kanan. Kugendong tas ranselku dan kutarik koper besar. Masih ada barang-barangku yang sengaja aku tinggal di kota rantau, Oza yang akan mengirimkannya nanti, semoga dia penuhi janjinya.
            Aku naiki bis antar kota yang akan mengantarkanku ke kotaku. Strategis lagi, Aku duduk di dekat jendela. Koperku semoga aman di bagasi bis. Kupeluk ranselku yang ternyata berat juga. Kukeluarkan hape dari kantong jaketku.
Ojeng, krg lbh 1.5jam lg ak nyampe 7an.skrg dh d bis k kotaku.Py,kpn arep knalan karo Rafa?
            (Delivered to: Oza. Date and time: 28-Jun-2010. 05:47:59)
            Slamat jg dkau..ga usah mksa aq nyampe rmhmu or brg2mu ga jd q krm?!hehe
            (Sender: Oza. Sent: 28-Jun-2010. 05:50:17)
                Okeeeee….. pray4me :)
            (Delivered to: Oza. Date and time: 28-Jun-2010. 05:52:04)
            Bis ini meluncur ugal-ugalan, sama sekali tak ada nikmatnya. Kupasang headset di telingaku. Ingin tidur tapi sangat tak nyaman. Hanya memejamkan mata sambil menikmati lagu-lagu yang mungkin sudah bosan menemaniku, untung mereka ga bisa demo.
            Lebih dari dua puluh lagu menemani lelahku. Aku sudah ada di pinggir jalan, turun dari bis setan itu. Satu jalan lagi. Aku masuk salah satu angkutan pedesaan yang siap melaju sampai ujung desa. Pukul Sembilan kurang lima belas menit pagi.
            Aku merasa paling tampan di tengah ibu-ibu rumah tangga yang -mungkin- hendak ke pasar desa. Para penumpang membicarakan Pilkades yang akan diselenggarakan minggu depan, ada calon yang tumben-tumben ramah pada penduduk desa dan bagi-bagi sembako, ada juga yang bagi-bagi amplop, begitu inti yang kutangkap dari perbincangan ibu-ibu ini.
            “Kiri, Mas..”. Begitu umumnya pinta penumpang agar mobil umum ini berhenti. Tepat di depan pemakaman umum Angkudes ini berhenti. Tak cukup ribet aku turun karena aku duduk di kursi dekat pintu, jadi mudah saja aku keluar dari himpitan ibu-ibu ini. Aku pinggirkan koperku lalu memberikan dua ribuan pada supir.
            “Suwun, Mas”. Kataku
            “Kaka??!!”  cengang supir Angkudes itu.
            Aku pandangi lagi dan pelajari wajah supir yang mengenal namaku dan mungkin mengenal betul siapa penyandang nama Kaka.
            “Sekedap nggih, Bu”. Pintanya pada penumpang di belakang kemudinya.
            “Ka!!” sapanya lagi setelah mensejajari tubuhku di pinggir kiri jalan.
            “Masya Allah… Mas Lutfi!!” seruku.
            Kami tertawa dan saling peluk sesaat. Ternyata ada perasaan rindu yang tiba-tiba hadir di saat pertemuan. Seperti saat ini. Kakak kelasku di bangku sekolah dasar ini masih mengenalku, dan masih sangat ramah serta sederhana, itu yang terlihat dari paras wajahnya.
            “Sampeyan harus banyak cerita, Ka… Sampeyan dolan lah ning omahku nanti. Aku nyambut gawe dhisik, langgananku iki”. Dia tertawa kecil.
            “Iya, Mas.. insya Allah.. nanti aku ta’dolan”. Aku mengiyakan.
            Angkudes itu melaju lagi. Sepertinya aku jadi obrolan pengganti Pilkades di Angkudes Mas Lutfi itu. Sayup-sayup kudengar suara seorang Ibu sebelum Mas Lutfi tancap gas, “Kuwi Kaka putrane Abah, tho?!”
            Aku mampir di warung samping pemakaman. Setelah mengobrol sebentar dengan Lek Ni, pemilik warung, tentang “Kaka menghilang selama empat tahun, dan hari ini pulang”, Aku mohon ijin numpang ke kamar mandi dan menitipkan koper serta tas ranselku. Topi yang dari tadi menjadi tutup kepalaku kini aku simpan di tas ranselku, sebagai gantinya aku pakai peci putih punya Abah yang memang menjadi milikku empat tahun terakhir ini.
            Kuayunkan langkah memasuki tanah luas. pohon kamboja, rumput liar, dan batu nisan menjadi ciri khas tanah ini. Tempat ini tak jauh beda dengan terakhir kali aku mengunjungi Abah, hanya lebih banyak batu nisan baru nampaknya. Mataku berair deras menuju pusara Abah.
            Aku sudah duduk di samping pusara Abah. Amah dan keluarga sepertinya rajin mengunjungi Abah, sekeliling makamnya bersih tanpa rumput liar yang tumbuh.
            Abah… Maafkan Kaka karena sudah sangat lama tak mengunjungimu.
            Aku masih tersedu, merasakan kehadiran lelaki tuaku. Seolah bisa mendengar, aku terus bercerita bagaimana aku, kenapa aku, dan inilah aku, aku terus bercerita ngalor-ngidul. Kutenangkan hati dan diriku, mulai melafadzkan dzikir dan doa yang dulu diajarkannya, dan yang pernah aku ajarkan lagi padanya saat lupanya.
            Ritual doaku selesai. Aku masih ingin berlama di tempat ini. Ingin merasakan peluk Abah, tapi itu tak mungkin. Dan masih ada tubuh yang masih bisa ku peluk, Amah menungguku, dari dulu. Aku beranjak. Abah… Amah adalah wanita hebatmu.
            Aku keluar dari pemakaman, mohon pamit pada Lek Ni dan meminta satu ojek mengantarku ke surga duniaku. Mungkin dari ibu-ibu yang aku temui di Angkudes tadi, info kedatanganku sudah tersebar hingga ujung desa. Pak Ojek ini bercerita tentang perkembangan desa empat tahun terakhir.
Dan sampailah aku di depan pekarangan rumahku. Ternyata benar, kabar kedatanganku pun sampai di telinga Amah, wanita cantik dengan sorban putih yang menutup rambutnya itu tengah berdiri di teras rumah. Aku memandanginya dari jauh, hatiku bergemuruh, entah perasaan apa ini.
“Abang..!!!!”. Seorang pemuda tampan menghampiriku, menyambutku dengan senyum spesialnya.
Wis gede kamu, Fa”. Kuacak rambut tebal Rafa. Kupeluk awak yang lebih gemuk dariku.
Kutinggalkan koper dan ranselku biar Rafa yang mengurus. Aku melangkah maju ke rumah, di pekarangan kusempatkan memetik mawar yang sejenis dengan yang sering dipetik Rafa, karena memang hanya ada satu jenis mawar di taman depan rumah ini.
Wanita dihadapanku kini adalah ibuku, yang tak pernah minta ganti rugi atas segala pengorbanan yang telah diberikan padaku, yang tak pernah juga mencap aku sebagai anak durhaka, yang selalu memaafkan kesalahanku sebelum aku meminta, yang selalu mendoakanku, yang selalu… yang selalu… yang selalu…
Entah sudah berapa tetes air menetes dari matanya. Kami berhadapan cukup lama. Rindu kami bertemu. Entah sudah berapa bilangan jumlah rindu ini, kami hanya membisu dalam haru.
Diraihnya mawar yang kugenggam, diciumnya mawar itu.
“Amah…” suaraku lirih.
Tubuhku sudah dipeluk erat, dihujani air mata kasih dan sayangnya, diciuminya wajahku, dipegangi kepalaku, diusap rambutku hingga tak karuan posisi peciku, dipandanginya mataku, dan terus mengalir air dari matanya. Aku masih kaku berdiri.
Kuraih tangan kanannya, kucium punggung telapaknya, mataku basah, aku terisak. Maafkan aku, Mah… membiarkan hatimu disesaki rindu. Aku tak mampu bersuara. Hanya aku dan Amah yang tahu bahasa apa yang ada kini.
Tubuh yang penuh dosa ini kembali dipeluknya.
Kulingkarkan kedua tanganku di tubuhnya yang kecil namun kuat.
Erat,
Aku tak mau melepas ataupun terlepas lagi.


Ibuku… beginilah aku dengan segala caraku mencintaimu.
Aku yakin satu hal, Kau menyayangiku lebih dari aku menyayangimu.
Hanya aku yang belum seutuhnya mengerti caramu…

Kota Penuh Impian,
11 Jumadal Akhirah 1431
25 Mei 2010
03.05 we-i-be

No comments:

Post a Comment