Thursday, July 12, 2012

Mengejar Kematian


“Bapak mana, Bu?” Tanyaku saat keluar dari kamar.

“Bapak sampun tindhak pagi-pagi tadi, ada borongan, alhamdulillah.” Jawab Ibu.

Aku kembali ke kamar, bersiap ke kantor, bergelut kembali dengan duniaku, jurnalistik.

Bapakku seorang sopir truk. Ibuku seorang Ibu rumah tangga. Adikku masih duduk di bangku sekolah menengah. Keluargaku berkecukupan. Gajiku sangat cukup untuk menghidupi empat nyawa tiap bulannya, aku minta pada Bapak agar tak lagi bekerja, tapi Bapak menolak, selalu menolak.
Aku masih sangat ingat bagaimana dulu Bapak berjuang mendapatkan rizqi untuk mencukupi keluarganya. Aku masih belum tahu bagaimana  menghasilkan uang yang banyak. Aku hanya sesekali berkeliling perumahan di depan kampung yang kami tinggali, menawarkan donat buatan Ibu yang enak. Itu dulu. Sekarang jajanan buatan Ibu itu sudah kalah dengan jajanan berlabel bagi penghuni komplek perumahan.

Perjuangan Bapak waktu itu bisa kulihat pada wajah lelah saat tidurnya, makan malam yang begitu lahap walau dengan lauk seadanya, semua itu dilakukan untuk kami. Bapak selalu bersyukur dan mengajarkan kami mensyukuri apa yang kami punya, walau tak banyak, asal baik dan halal.

“Ran berangkat dulu, Bu.” Kucium tangan Ibu, tangan yang lembut dan penuh ketulusan.

Ati-ati ya, jangan larut malam pulangnya.” Pesan Ibu.

“Ran ndak janji, Bu. Tiba-tiba ada kejadian yang harus diliput ya Ran ndak bisa pulang cepat.”

Aku bekerja di salah satu channel televisi swasta sebagai seorang wartawati. Selepas SMA, aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi di salah satu sekolah jurnalistik.

Pekerjaanku sekarang ini menuntut aku untuk menjadi perempuan tangguh. Aku harus berkejaran dengan waktu, mengejar berita, dan tak mau terkejar oleh wartawan sainganku. Aku selalu terobsesi untuk menjadi yang pertama dalam mendapatkan berita.

Sebenarnya aku tidak begitu nyaman dengan apa yang aku kerjakan ini. Tapi entah, bagaimana lagi. Akhir-akhir ini aku selalu dikelilingi gakta-fakta yang menakutkan, mengerikan, memilukan, menyedihkan, dan semua itu harus kuliput.

Terkadang perasaanku berwujud amukan, hatiku berontak pada apa yang aku kerjakan. Namun, aku belum mempunyai keberanian untuk menghentikan ini semua. Ini masih menjadi pilihan dalam satu perjalanan hidupku.

Ponselku berdering, satu sms singkat dari rekan kerjaku.
Kecelakaan. Kampung Sawah. Get it now. Let’s go

Aku segera berkemas. Tas yang selalu menemaniku saat meliput berita di lapangan segera kusandang, berlari kecil menuruni anak tangga. Rekanku sudah ada di tempat parkir.

Kali ini aku kembali akan menulis sebuah berita pilu. Aku menerawang lewat kaca mobil, menatap langit yang siap berganti warna gelap, berharap kecelakaan yang akan aku liput tidaklah kecelakaan maut yang memakan korban.

Aku sudah ada di tempat kejadian. Sepuluh menit perjalanan. Ruas jalan ini sudah ramai, garis kuning polisi sudah mengelilingi lokasi. Mataku mencari saksi mata. Kukejar info darinya, dia bilang kecelakaan ini terjadi karena sopir membanting stir ke kanan jalan menghindari anak kecil yang tiba-tiba lari ke jalan, malangnya sopir itu tidak bisa mengndalikan kemudi sehingga menabrak 3 pengendara motor. Dua tewas.

“Kecelakaan maut. Lagi.” Gumamku.

“Sopirnya diamankan polisi, Neng. Di sana.” Jelas Bapak separuh baya yang sudah kuminta keterangannya sambil menunjuk ke satu arah.

Aku segera mendekat ke tempat yang ditunjukkan orang tadi. Seorang lelaki beruban menunduk lemas di hadapan polisi. Aku lebih mendekat. Siap membidik wajahnya.

Mataku terbelalak. Jantungku berdetak sangat cepat. Dadaku sesak. Aku tak sanggup mengendalikan amukan hati ini. Pandanganku kabur. Tubuhku gemetar.

“Ayo, Ran!” Kawan kerjaku menyadarkan.

Air mataku menetes deras.

Lelaki beruban itu adalah Bapakku.

2 comments: