Saturday, January 12, 2019

Pemanis Bibir

Istriku masih tertidur pulas saat alarm berbunyi. Kupanggil namanya juga tak ada respon, padahal dia orang yang mudah dibangunkan cukup dengan bersuara di dekatnya. Biasanya dia selalu bangun sebelum alarm berbunyi dan membangunkanku untuk tahajud bersama. Mungkin dia sedang berhalangan atau kecapaian karena tidur terlalu malam menungguku pulang terlambat karena menyelesaikan laporan akhir pekan. Aku tak tega membangunkannya dan kubiarkan dia tidur dengan mulut sedikit menganga.

Hingga adzan shubuh berkumandang dia tak bergeming. Curiga. aku dekati dia dan kupegang badannya, demam. Panik, tak tahu harus bagaimana merawatnya. Aku selimuti dia lebih tebal mengingat Ibu dulu melakukan itu saat aku sakit.

Kuambil ponsel segera menghubungi seseorang, tapi aku ragu siapa yang harus kutelpon untuk konsultasi; ibuku atau ibu mertuaku. Sambil kupegangi dahinya aku coba berpikir jernih di tengah kepanikan.

"Bu, Denok sakit, badannya demam, aku harus gimana?", kuadukan kepanikanku tanpa basa-basi pada Ibu.
***
Saran Ibu kulakukan tanpa terlewat detailnya, Denok berangsur membuka mata dan memaksa untuk melakukan aktivitas.

"Aku gapapa, Mas.", Denok berdiri sempoyongan hampir jatuh. Ngeyel. Maka kubalik paksa dia untuk tetap tidur.

Menjelang siang, Ibu datang bersama adikku. Baru saja kubuka pintu, Ibu dan adikku tersenyum geli melihat mukaku masih nampak panik.

"Denok di kamar? Ibu siapin makannya dulu yaa.. Nanti Ibu ke kamar.", Ibu dan adikku menuju dapur menyiapkan makanan yang mereka bawa.

"Nok... ada Ibu." Kataku pada Denok yang duduk lemas di sisi tempat tidur. Dia menuju meja rias merapikan wajahnya, kulihat ia memakai lipstik, lalu latihan tersenyum di depan cermin seolah tak ingin terlihat sakit di depan Ibu.

Denok mengajakku ke luar kamar untuk menemui Ibu. Meyakinkanku bahwa dia sudah membaik. Maka, di ruang makan kami bercengkerama dan makan bersama.

Aku dan adikku beranjak ke ruang tengah menghidupkan televisi. Kudengar percakapan Ibu dan Denok sedikit berbisik. Aku kurangi volume televisi berniat mendengar percakapannya.

"Matur nuwun nggih, Bu... sampun rawuh tengokin kami." Kata Denok lirih.

"Nyuwun pangapunten... Denok ga sekuat Ibu, masa gini aja sakit. Jadinya Denok ga bisa mendampingi Mas dengan baik." lanjutnya.

"Ssstt... hati-hati kalau ngomong. Dulu Ibu juga begitu, maunya kalau sakit ga usah dirasa, maksain diri. Tapi itu justru membuat Bapak 'sakit' karena seolah Bapak tak membolehkan Ibu sakit sama sekali.", Ibu terdengar sangat menenangkan.

"Matur nuwun ya, Nok.. udah hormat tamu, udah dandan cantik karena Ibu datang. Cukup lipstik saja yang jadi pemanis bibir, kalau ucapan jangan. Ucapan itu harapan, jadi harus yang baik bicaranya jangan hanya jadi pemanis bibir." nasihat Ibu semakin menenangkan.

No comments:

Post a Comment