Wednesday, December 26, 2018

Sebagai Pengingat

Setiap Ibu adalah idola
Hingga kata dan lakunya
Selalu istimewa
Dalam ingatan anaknya

Setiap Ibu adalah kebanggaan
Semua darinya haruslah panutan
Bekal meniti jalan kehidupan
Meraih kebahagiaan

Selalu ada cinta apapun keadaannya
Tak pernah putus doa selamanya
Untuk dunia-akhirat anak-anaknya
Karena setiap Ibu adalah surga

***
Dear, Isna di masa depan
Kelak, ingatlah kamu pernah menulis ini untuk dirimu sendiri sebagai pengingat nanti..

Wednesday, December 12, 2018

Kata Ibuk

Ini kali kedua aku melihat Ibu termenung seperti memikirkan sesuatu yang penting. Sambil menimang cucu, anak kakakku, yang sudah terlelap dalam pelukan hangat Ibu, Ibu merapal mantra, lirih. Namun, sorot matanya menerawang.

"Buk... Adek mau ditaruh dulu di kasur?", tanyaku.

"Ndak apa-apa, nanti kalau ditaruh malah bangun." Jawab Ibu.

"Ibuk nembe nggalih napa?", lanjutku kemudian. Diikuti hela nafas Ibu seraya menatap anak gadisnya dan tersenyum.

"Mugi enggal ketemu jodoh yaa, Ndhuk..."
***

Aku ingat suatu hari, lima tahun yang lalu, Ibu terengah-engah memasuki rumah. Lalu segera ngunjuk teh panas yang sudah kami siapkan.

"Kalau bisa jangan sama bocah kui, Le", Tutur Ibu pada kakakku setelah bercerita bahwa Ibu baru saja pulang dari kampus cewek incaran kakakku. Ya, Ibu baru saja  memata-matainya. Ibu turun lapang sendiri, ditemani sepupu kami yang juga satu kampus.

"Ya 'kan bisa aja dia lagi ga Shalat, Bu..", Kakakku menanggapi.

"Ora, wong Ibu ngintili areke sampe Masjid kok!"

Kemudian dilanjutnya cerita bahwa orang yang dimaksud itu Shalat Zhuhur di akhir waktu, mepet di waktu Ashar. Bagi Ibu, itu merupakan hal yang tak semestinya dilakukan. 

Aku yang mendengar percakapan Ibu dan kakakku dari ruang sebelah tertawa heran. Ibu segitunya pilih mantu. 'Kan bisa saja kekhusyu'an itu bisa ditemui di luar Shalat. Alih-alih aku teringat gebetan kakakku itu adalah aktivis sebuah organisasi yang concern dalam kegiatan sosial.

Namun karena percakapan itu, aku jadi tahu salah satu ketentuan 'baik' yang pernah kutanyakan pada Ibu.

"Ibuk pados mantu kados napa?"

"Yang shalih", jawab Ibu singkat.

"Lalu aku harus gimana, Buk?"

"Ya harus baik, lebih baik."

Setelah mendengar diskusi Ibu dengan kakakku itu aku mulai memperbaiki ritme Shalatku sendiri, sebisa mungkin Shalat di awal waktu. Sebelumnya, aku sering kali melewatkan awal waktu tiap Shalat. Juga langsung ngacir setelah salam. Seperti hanya menggugurkan kewajiban saja tanpa menyadari bahwa aku lah yang membutuhkan Shalat itu sendiri.

Sampai sekarang aku masih sering alpa dan salah dalam menapaki perjalanan menuju keshalihan, namun pesan Ibu itu selalu saja terngiang, seolah mengingatkan diri yang terus saja bandel.

Di lain waktu, Ibu pernah duka ke mbak emban di rumah kami saat mendengar suara air mengucur dan gesekan beling dari piring-piring yang dicuci.

"Bapak nembe sare. Cuci piringnya nanti saja, takut Bapak nanti wungu!" tegur Ibu.

"Lagian kalau cuci piring itu jangan sampai ada suaranya. kelontangan. Saru!" lanjutnya.

Ya kali nyuci piring ga pake suara.

Lalu tak lama dari kejadian itu, aku kembali bertanya pada Ibu.

"Ibuk pados mantu kados napa?"

"Yang shalih."

"Lalu aku harus gimana, Buk?"

"Ya harus baik, lebih baik... tur njawani"

Dari kejadian itu aku belajar beberapa hal yang njawani. Tentang cuci piring dan menghormati orang tua. Sejak saat itu juga, aku tidak pernah bersuara selirih apa pun di dekat Bapak atau Ibu yang sedang sare.

Hal-hal sederhana lainnya yang Ibu ajarkan hingga hal-hal penting yang menjadi perhatian Ibu, secara tidak langsung menjadi pelajaran bagiku.

Ibu adalah orang yang sangat teliti dan setiti. Tiap kali ada hal yang tidak pas menurut Ibu, aku dan kakakku didudukkan dan dituturi. Tak jarang, kami merasa Ibu itu otoriter dan sering juga nyelekit tuturnya.

Tapi itu lah Ibu, orang yang terkadang membuat sendu dalam pilah-pilih kata, namun juga orang yang sangat kami rindu kala dinas luar kota.

Semua yang Ibu katakan dan lakukan, salah dan benarnya, bagi kami adalah teladan. Hikmah. Koreksi untuk kami dalam menjalankan lakon urip.
***

"Ibuk khawatir, nggih? Ngapunten nggih, Buk... sampai sekarang dalem belum menikah juga." jawabku setelah Ibu mendoakan enggal berjodoh.

"Kok maaf... belum ketemu jodoh itu bukan suatu kesalahan. Ibuk mendoakan... awakmu ikhtiar dan terus berdoa." Jawaban yang dilematis, bukan?

Kuulang pertanyaan yang dulu pernah kuajukan, "Ibuk pados mantu kados napa?"

"Sing shalih."

"Lalu aku harus gimana, Buk?"

"Ya harus baik, lebih baik... tur njawani . tidak menyalahkan diri sendiri dan yakin husnuzhan maring Gusti Allah."

Monday, December 3, 2018

Setelah Pertemuan Singkat

Siapa yang mengira kita akan bertemu pada hari itu? Di tengah keramaian orang yang bertukar sapa, pesonamu tetap saja begitu.

oiyaa, ini bukan soal reuni alumni yang digelar kemaren. penting.

Dari jauh aku melihatmu, gurat wajah yang semakin bijaksana dan senyummu yang semakin kuat beraura.

Kemudian, aku melihat bola matamu mencari-cari sementara keinginanku kuat untuk bertemu namun tak berani.

Dan kita bertemu, di sudut itu.
Berbinar mata jernihmu
Seraya mengusap kepalaku
(aah, cuma GR nya aku)

Dan hanya begitu,
Tanpa duduk bersama.
Seperti kelu
Tak mampu berkata apa-apa.

Setelah pertemuan singkat, aku semakin rindu!
(ya kan?! kata siapa obat rindu adalah bertemu? justru, semakin sakit!)

Sunday, September 2, 2018

Untuk Aida ❤

Menyentuh tangan Tala seakan menggenggam tangan gadis kecil 10 tahun yang lalu. Ndredeg dan mbrebes mili. Mengingat kala itu, meyakinkan diri akan kenyataan bahwa Bapak telah berpulang.

Gadis kecil yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya oleh kami akan kehilangan sosok ayah dengan cepat.

Gadis kecil yang senantiasa tersenyum menyambut uluran tangan orang-orang yang bersimpati, menahan emosi yang entah.

Gadis kecil yang membuatku malu karena aku terus sesenggukan kala itu. Gadis kecil yang menguatkanku... Hingga kini, melewati segala suka duka, bahagia juga lara. 

Gadis kecil yang kini sudah beranjak remaja memasuki tahun pertama di bangku kuliah. Adik ragil kami.

Dear, Aida... berjalanlah selalu dalam kebaikan, meliputi hidup dengan segala hal baik agar selalu dirahmati dan diberkahi Allah.

Kuatlah... Meski dihajar sini dan ditampar sana oleh keras dan lugasnya hidup, makin kuatlah... genggaman tangan mungilmu dulu telah menguatkan kami, maka yakinlah bahwa genggaman tangan Tuhan akan selalu menguatkanmu.

Jaga diri baik-baik, yaa... selalu jadi baik... Sebagaimana harapan Bapak dan Ibuk untuk kita semua. 

Kita akan selalu saling mengingatkan, saling menguatkan... 

We love you... :')

Saturday, August 25, 2018

Kapan?

Mungkin tulisan ini biasa saja, seperti biasanya Gibran bin Jokowi bilang. Bisa jadi tulisan ini ga penting, karena bukan masalah yang genting. Tapi yaudah lah, aku coba.. untuk berdamai dengan diri sendiri, menguatkan diri sendiri, yaa.. bela hati sendiri. wkwk

Pernah ga kamu merasa orang-orang di sekitar menanyakan suatu hal yang sama dan berulang-ulang? Aku pernah. Sering. Tahu kan pertanyaan tentang apa? Tentang masa depan yang aku susun... tapi belum terwujud.

Awalnya, merasa sangat terganggu. "Urusan kamu apa?" Hingga suatu saat Allah kasih lapang hati untuk menyadari dan aku bisa mencoba husnuzhan bahwa tujuan mereka baik dan itu adalah suatu bentuk perhatian. Dari yang "Apaan banget, sich" sekarang alhamdulillah sudah semakin santai dengan mengamini 'harapan gek ndang' dari mereka. Meskipun kadang masih yang aduh. Amini saja, Ad-du'a bir-Rumuuz kalau kata Pak Kiai.

Siapa yang ga mau mewujudkan keluarga yang penuh kebahagiaan? Suami yang selalu membersamai setiap hari, anak-anak yang menyemarakkan rumah, tentu saja aku ingin. Lebih-lebih saat melihat kebahagiaan yang dishare kawan-kawan seumuran, kebahagiaan bersama keluarga kecilnya. Iri? Iya. Tapi belum waktuku. Bukan karena ga mau, bukan juga karena banyak cincong. wkwk

Pernah suatu waktu sampai pada titik kenapa belum juga? Aku harus bagaimana?

Kemudian Sang Guru menenangkan; sabar, terus minta, perbaiki diri, tawakkal.

Karena kapan yang ini, tidak semudah menjawab:
1. Kapan mau makan seblak?
2. Kapan mau nonton minion?
3. Kapan mau beli cireng?

Yaudah, kapan yang ini dibawa santai tapi serius aja.

Etapi sekarang lebih terbebani saat ditanya kapan sidang tesis dari pada kapan nikah. wkwk

Wednesday, August 22, 2018

Mau Pindah Rumah?

Seseorang menyapa, menanyakan kabar, dan sesekali mengusap debu yang menempel di pagar rumah. Iya. Sudah sangat lama rumah ini tak dihuni. Ditengok sih iya tapi hanya di teras rumah, tidak bisa masuk karena lupa disimpan di mana kuncinya.

Lalu kepikiran, harus kah pindah rumah? Meninggalkan semua barang di rumah lama? Toh, itu barang lawas. wkwk. Atau kalau ga rela meninggalkannya, dobrak saja pintu rumahnya dan aku bisa ambil semua barang untuk dibawa ke rumah baru. Belum ketemu juga kuncinya.

Survey beberapa rumah, menggiurkan! Modern, lebih keren dari rumah lama. Udah, pindah aja lagian belum ketemu juga pintunya.

Dan memang akan mudah saja memindahkan semua barang walaupun ga ketemu kunci rumahnya. Tapi ternyata, bagiku barang-barang itu tidak hanya sesuatu yang bisa disentuh. Ternyata rumah lama; semua barang-barang yang ada di dalamnya adalah istimewa bukan karena lawasnya namun karena kekuatan perjuangan yang meski kuno tapi bermakna, meski akan mengingatkan luka tapi akan menguatkan jiwa, meski terasa menyesakkan hati saat mengingatnya tapi akan melapangkan hati kedepannya. wkwk.

Akhirnya, welkambektodeblog! Yaudah gapapa malu-maluin kalau baca tulisan lawas, tapi biarlah buat ketawa-tawaan.

Ketemu kuncinya? Tidak!
Terus gimana bisa masuk? Bisa aja!
Allah yang kasih jalan.

wkwk.