Ini kali kedua aku melihat Ibu termenung seperti memikirkan sesuatu yang penting. Sambil menimang cucu, anak kakakku, yang sudah terlelap dalam pelukan hangat Ibu, Ibu merapal mantra, lirih. Namun, sorot matanya menerawang.
"Buk... Adek mau ditaruh dulu di kasur?", tanyaku.
"Ndak apa-apa, nanti kalau ditaruh malah bangun." Jawab Ibu.
"Ibuk nembe nggalih napa?", lanjutku kemudian. Diikuti hela nafas Ibu seraya menatap anak gadisnya dan tersenyum.
"Mugi enggal ketemu jodoh yaa, Ndhuk..."
***
Aku ingat suatu hari, lima tahun yang lalu, Ibu terengah-engah memasuki rumah. Lalu segera ngunjuk teh panas yang sudah kami siapkan.
"Kalau bisa jangan sama bocah kui, Le", Tutur Ibu pada kakakku setelah bercerita bahwa Ibu baru saja pulang dari kampus cewek incaran kakakku. Ya, Ibu baru saja memata-matainya. Ibu turun lapang sendiri, ditemani sepupu kami yang juga satu kampus.
"Ya 'kan bisa aja dia lagi ga Shalat, Bu..", Kakakku menanggapi.
"Ora, wong Ibu ngintili areke sampe Masjid kok!"
Kemudian dilanjutnya cerita bahwa orang yang dimaksud itu Shalat Zhuhur di akhir waktu, mepet di waktu Ashar. Bagi Ibu, itu merupakan hal yang tak semestinya dilakukan.
Aku yang mendengar percakapan Ibu dan kakakku dari ruang sebelah tertawa heran. Ibu segitunya pilih mantu. 'Kan bisa saja kekhusyu'an itu bisa ditemui di luar Shalat. Alih-alih aku teringat gebetan kakakku itu adalah aktivis sebuah organisasi yang concern dalam kegiatan sosial.
Namun karena percakapan itu, aku jadi tahu salah satu ketentuan 'baik' yang pernah kutanyakan pada Ibu.
"Ibuk pados mantu kados napa?"
"Yang shalih", jawab Ibu singkat.
"Lalu aku harus gimana, Buk?"
"Ya harus baik, lebih baik."
Setelah mendengar diskusi Ibu dengan kakakku itu aku mulai memperbaiki ritme Shalatku sendiri, sebisa mungkin Shalat di awal waktu. Sebelumnya, aku sering kali melewatkan awal waktu tiap Shalat. Juga langsung ngacir setelah salam. Seperti hanya menggugurkan kewajiban saja tanpa menyadari bahwa aku lah yang membutuhkan Shalat itu sendiri.
Sampai sekarang aku masih sering alpa dan salah dalam menapaki perjalanan menuju keshalihan, namun pesan Ibu itu selalu saja terngiang, seolah mengingatkan diri yang terus saja bandel.
Di lain waktu, Ibu pernah duka ke mbak emban di rumah kami saat mendengar suara air mengucur dan gesekan beling dari piring-piring yang dicuci.
"Bapak nembe sare. Cuci piringnya nanti saja, takut Bapak nanti wungu!" tegur Ibu.
"Lagian kalau cuci piring itu jangan sampai ada suaranya. kelontangan. Saru!" lanjutnya.
Ya kali nyuci piring ga pake suara.
Lalu tak lama dari kejadian itu, aku kembali bertanya pada Ibu.
"Ibuk pados mantu kados napa?"
"Yang shalih."
"Lalu aku harus gimana, Buk?"
"Ya harus baik, lebih baik... tur njawani"
Dari kejadian itu aku belajar beberapa hal yang njawani. Tentang cuci piring dan menghormati orang tua. Sejak saat itu juga, aku tidak pernah bersuara selirih apa pun di dekat Bapak atau Ibu yang sedang sare.
Hal-hal sederhana lainnya yang Ibu ajarkan hingga hal-hal penting yang menjadi perhatian Ibu, secara tidak langsung menjadi pelajaran bagiku.
Ibu adalah orang yang sangat teliti dan setiti. Tiap kali ada hal yang tidak pas menurut Ibu, aku dan kakakku didudukkan dan dituturi. Tak jarang, kami merasa Ibu itu otoriter dan sering juga nyelekit tuturnya.
Tapi itu lah Ibu, orang yang terkadang membuat sendu dalam pilah-pilih kata, namun juga orang yang sangat kami rindu kala dinas luar kota.
Semua yang Ibu katakan dan lakukan, salah dan benarnya, bagi kami adalah teladan. Hikmah. Koreksi untuk kami dalam menjalankan lakon urip.
***
"Ibuk khawatir, nggih? Ngapunten nggih, Buk... sampai sekarang dalem belum menikah juga." jawabku setelah Ibu mendoakan enggal berjodoh.
"Kok maaf... belum ketemu jodoh itu bukan suatu kesalahan. Ibuk mendoakan... awakmu ikhtiar dan terus berdoa." Jawaban yang dilematis, bukan?
Kuulang pertanyaan yang dulu pernah kuajukan, "Ibuk pados mantu kados napa?"
"Sing shalih."
"Lalu aku harus gimana, Buk?"
"Ya harus baik, lebih baik... tur njawani . tidak menyalahkan diri sendiri dan yakin husnuzhan maring Gusti Allah."
No comments:
Post a Comment