Tuesday, January 8, 2019

Bunga di Tepi Jalan

"Mana yang sakit?", tanya Ibu berusaha menenangkan Denok kecil yang menangis setelah jatuh tersandung batu saat berjalan.

Ditunjuknya lutut yang merah terluka, sedetik kemudian Ibu ucapkan bismillah dan meniup lutut Denok yang merah itu. Langsung sembuh. Meski ada memar dan lecet yang terlihat, namun tangisnya langsung berhenti juga sakit yang ia rasa seketika hilang.

Ritual itu sering Ibu lakukan saat Denok terjatuh karena ketidakhati-hatiannya dalam berjalan. Sampai besar pun, ia yang seringkali jatuh (kalau kata tetangga; kurang selametan, dikit-dikit jatuh) mempercayai penyembuhan itu. Obat paling mujarab adalah dari Ibu!

"Hati-hati di jalan.", pesan yang seringkali Ibu ucap sejak Denok kecil tiap kali pamit pergi, khawatir akan keselamatannya dalam perjalanan.

Bagi Denok yang kini telah dewasa pesan itu tidak hanya agar ia selamat secara fisik. Lebih dari itu; hati-hati menjaga mata di jalan, hati-hati menjaga telinga di jalan, hati-hati menjaga hati di jalan.

Maka benar saja, suatu waktu dalam perjalanan pulang kuliah, Denok tergoda untuk melihat sejenis bunga dan hatinya berprasangka, "Apa istimewanya bunga jika hanya di tepi jalan?! Ia dilihat oleh banyak orang, namun tak ada yang memintanya untuk dimiliki.", seolah cemburu.

Padahal dari sisi lain kita layak melihat proses berbunganya yang bisa jadi istimewa. Di jalanan, ia tertempa angin dan hujan yang menjadikannya justru kuat dan bersahaja. Membuat banyak orang mungkin saja berebut memilikinya.

Betapa banyak godaan di jalanan. Hati-hati di jalan!

No comments:

Post a Comment