Dalam menjalani peran kehidupan di dunia, kita memiliki satu rutinitas yang seolah menjadi kewajiban seorang muslim. Seperti tidak boleh absen dalam sehari sekalipun: doa.
Bahkan saat masih kecil, kita sudah sangat banyak menghafal doa. Doa makan, doa tidur, doa ke kamar mandi, doa masuk masjid, dan lainnya, sebelum dan sesudahnya. Diajarkan sebagai suatu upaya orang tua untuk membawa anak-anak menuju tangga keshalehan.
Sebagaimana Allah firmankan: berdoalah kepada-Ku maka Aku akan mengabulkan untukmu. (QS. Ghafir: 60). Doa menjadi sebuah sarana untuk meminta. Juga menjadi sebuah pengakuan bahwa kita itu lemah, tak mampu apa-apa tanpa pertolongan dari Yang Maha Mengabulkan Pinta.
Kita meyakini bahwa berdoa tidak harus berbahasa Arab seperti doa-doa yang kita hafal sewaktu kecil. Sehingga kita bebas mau minta apa, saking banyaknya keinginan kita. Hingga tiap kali menginginkan sesuatu, kita khususkan doa, berpanjang-panjang matur maring Allah dalam meminta untuk satu hal saja.
Dan disadari atau tidak, terlepas dari memang pemberian Allah, terkadang sesuatu yang kita dapat bisa jadi karena doa dari kita sendiri atau doa dari orang lain. Doa dari orang lain yang kita dengar juga yang sembunyi-sembunyi dipanjatkan untuk kita.
Seperti "Doa Ara terkabul!", ucap Ara kepada Emak-Abah #KeluargaCemara seraya mengakui doa dalam diamnya. Pengakuan itu kemudian menjadi penenang untuk Emak yang merasa kalut mengetahui kehamilannya di tengah kondisi keluarga yang sulit.
Maka, saat keinginan kita 'menyusahkan' orang lain, seharusnya wajar saja jika kita 'disusahkan' orang lain. Tinggal bagaimana kita menyikapi. Minta dimudahkan yang susah.
Kan bebas mau doa apa.