Aku lama menunggumu. Waktu yang kau janjikan sebagai start kebersamaan kita hari ini sudah
terlewat. Aku mulai cemas, khawatir, dan… takut kehilangan dirimu. Bayangan
masa lalu seketika datang, aku sangat takut
untuk kau tinggalkan, bahkan untuk kau duakan. Kejadian masa lalu telah membekaskan trauma di
jiwaku. Apakah, jika saat itu kurelakan kau bersamanya, kau akan bahagia? Atau
jika saat itu aku mau untuk kau bagi cintamu dengan yang lain, apakah kau yakin
kau akan adil? Jika iya, aku hanya menyayangkan kenapa dulu aku tak menyetujui
permintaanmu. Senyatanya kita tidak pernah tahu tentang masa depan. Aku tak
ingin kebahagiaan yang telah kita perjuangkan kau hapus begitu saja. Aku
terlalu takut untuk kecewa.
Dugaan-dugaan dalam hati akhirnya kutumpahkan kepada anakku
setelah kau diam saat aku tanya “dari mana?”, aku tak mampu mengendalikan
amarahku barang sedetik. Aku ingin marah di hadapanmu tapi aku tak ingin kau
balas dengan murka. Aku tetap ingin menjadi garwamu
yang taat…
Kita tidak lagi pengantin baru, usia pernikahan kita sudah
melewati setengah usiaku yang berkepala lima. Apakah aku yang selalu saja
kekanak-kanakan atau kau yang lagi-lagi tak pengertian? Aku ingin menikmati
usia senja kita bersama anak-anak dalam kedamaian, dalam kebahagiaan yang
sesaat lagi sebelum kita kembali pada Penggenggam Semesta. Biarlah kebenaran
bersemayam di tempatnya…
Maafkan aku, anakku…
Aku ingin selalu menghormati dan memulyakan suamiku, namun amarahku selalu menghukuminya.
Aku ingin selalu menghormati dan memulyakan suamiku, namun amarahku selalu menghukuminya.
Maafkan aku, suamiku…
Untuk menjadi istri yang selalu muda dan sempurna aku tak bisa…
Untuk menjadi istri yang selalu muda dan sempurna aku tak bisa…
No comments:
Post a Comment