Namaku Aini. Nama yang diberikan oleh kedua orang
tuaku yang buta. Nama yang indah bagi mereka, menjadi mata dan penyejuk mata, begitu
ujar mereka. Bagaimanapun orang lain memandang hina kedua orang tuaku karena
kebutaannya, aku selalu bersyukur memiliki mereka yang selalu melihat keindahan
semesta dan keangkuhan dunia dengan mata hatinya yang tulus.
Aku tak lama hidup bersama seorang Bapak, usiaku
saat itu belum cukup untuk menjadi murid sekolah dasar. Bapak kehilangan nyawa
karena tertabrak mobil yang melaju kencang saat ia ingin menyebrangi jalan.
Sejak saat itu, aku tak mau melepas Ibuku bepergian sendiri. Aku selalu
menemani Ibu saat ingin keluar rumah. Hingga akhirnya aku sudah cukup umur
untuk bersekolah, aku mulai belajar melepasnya dengan memaksa tongkat yang
selalu ia bawa untuk selalu menjaganya.
Aku masih sangat ingat bagaimana kekonyolanku saat
kecil dulu, selalu berbicara dengan tongkat besi Ibu sebelum aku berangkat ke
sekolah. Akan mengutuk tongkat itu kalau terjadi sesuatu pada Ibu dan tidak mau
lagi berteman dengannya bahkan akan membuangnya. Aku menganggap tongkat itu
mempunyai nyawa layaknya manusia. Sungguh, hal itu lucu saat aku mengingatnya
sekarang ini…
Aku sudah berseragam putih abu-abu sekarang ini.
Suatu kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Rizki yang diberikan Tuhan kepada
keluargaku meyakinkanku kembali bahwa Tuhan Maha Pemberi, memberikan rizki
kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Ibuku yang berperan menjadi Bapak
sekaligus mampu menyekolahkanku hingga jenjang sekolah menengah atas sekarang
ini.
Hari ini sepulang sekolah, di angkutan umum aku
duduk berdampingan dengan seorang Ibu paruh baya, mungkin seumuran Ibuku,
membawa tongkat yang tak jauh beda dengan milik Ibuku, sesekali matanya
berkedip berusaha membuka, tetapi tak kulihat bola matanya. Ingatanku tiba-tiba
berada di suatu masa dulu…
Aku, Ibu, dan tongkatnya, duduk tepat di belakang
supir sebuah angkutan umum. Aku masih suka memakai jepit rambut pita, mungkin
juga masih ingusan, masih belum menyadari bahwa tongkat itu tidak bernyawa. Aku
hendak mengantarkan Ibu ke salah satu klinik pengobatan karena satu minggu
terakhir Ibu mengeluhkan matanya yang terasa sakit.
Di angkutan umum tersebut banyak penumpang yang
memperhatikanku dan Ibuku. Aku yang cuek dengan tatapan mereka terus saja
bernyanyi sesukaku, sesekali menggoyangkan badanku seolah mengikuti irama musik
khayalanku saat itu. Ibuku terus saja mencubit tanganku yang menggenggam uang
dua ribuan untuk ongkos, mengingatkanku agar tidak berisik dan memperhatikan
jalan agar tidak lena. Ya, setiap kali bepergian dengan Ibuku akulah yang
menjadi penunjuk jalannya.
Hampir saja aku lupa untuk lapor ke supir untuk
berhenti, untung saja bapak supir ingat di mana kami harus turun karena saat
naik Ibuku sudah bilang kepadanya kemana tujuan kami. Ibuku turun terlebih
dahulu dibantu penumpang yang duduk di dekat pintu. Saat aku menyerahkan ongkos
kepada supir, dia bilang, “Udah ga usah.
Dibawa aja, Neng. Hati-hati nyebrangnya ya.” Sejak itu, aku menyadari satu
hal bahwa tidak semua orang jahat kepada Ibuku. Tidak semua orang akan menghina
kebutaan Ibuku.
Lamunanku tersadar saat Ibu buta tadi hendak turun.
Aku tidak berreaksi cepat hingga Ibu tersebut sudah bisa menepi ke ruas jalan.
Dari kaca jendela mobil aku melihatnya menyebrang jalan dengan selamat.
Saat aku tidak bisa selalu menemani dan menjaga
Ibuku, aku yakin Tuhan Yang Maha Menjaga selalu menjaganya…
No comments:
Post a Comment