Rasanya tak jauh beda dengan tamparan-tamparan sebelumnya. Tapi, saat
itu terasa masih sangat pagi untuk menerima sebuah teguran dari atasan.
Jari-jemariku mulai bergetar setelah duduk lemas di kursi kerjaku.
Segelas air putih seketika habis kuteguk. Arah pikirku tak bertujuan,
entah kemana.
Aku ingin segera pergi, sementara tak ingin berada di bangunan di mana aku kena
marah pagi itu, karena aku paling takut dengan kemarahan. Namun, dayaku
hanya sampai pada menahan tangis, meremas ujung bajuku sendiri, mencari
pegangan untuk tanganku, dan kosong...
Aku tak
terbiasa untuk menceritakan apa yang terjadi padaku, menuturkan dengan
gerakan bibir, atau menguraikan dengan rangkaian kata. Aku butuh
ketenangan, dengan caraku sendiri, dengan tidak serta merta menangis
penuh adu karena aku tak mau meneteskan air mata di hadapan siapapun. Aku hanya ingin memberitahu apa yang ingin kuberitahu tanpa memaksamu untuk tahu...
Aku menahannnya, tangisan itu. Hingga sesak memenuhi hati...
Aku ingin segera bertemu denganmu, sayang...
Aku
ingin segera pulang untuk memeluknya, untuk mendapat balas peluknya,
dan tetap menyembunyikan tangisku karena aku tak berani berwajah sembab
di depan matanya.
Aku tak kuasa untuk menapak lama di
tempat itu. Aku beranjak meninggalkan meja kerjaku mencari sesuatu yang
mampu menenangkan. Aku mesrai kalam Tuhan, tapi tangisku semakin
menjadi. Aku mencoba mengabaikan segala suara yang terdengar dari
imajinasiku sendiri, menyibukkan lidahku dengan nama Sang Pencipta,
mencoba mengosongkan hatiku dari segala penyakitnya... Tolong aku, Tuhan...
Aku tak sabar untuk segera memelukmu...
Akhirnya langkah kakiku menuju padanya. Aku pulang membawa segenggam senja. Langkah kakiku selalu ringan menuju rumah.
Dia
tengah tidur pulas. Wajahnya indah dengan guratan lelahnya. Aku
melingkarkan tanganku ke tubuhnya, menenggelamkan wajahku di belakang
tubuhnya, menangis di punggungnya. Aku merasa semakin tenang...
Ketenangan yang aku dapat dari tubuh yang menghangatkan, tanpa aku harus
bertutur. Aku hanya butuh waktu untuk mengembalikan selaksa ketenangan
di hatiku. Percayalah, aku pun tak ingin berlarut-larut dalam
kesedihan...
Terima kasih, putri kecilku...
No comments:
Post a Comment