“Bapak mana, Bu?” Tanyaku saat
keluar dari kamar.
“Bapak sampun tindhak
pagi-pagi tadi, ada borongan, alhamdulillah.” Jawab Ibu.
Aku kembali ke kamar, bersiap ke
kantor, bergelut kembali dengan duniaku, jurnalistik.
Bapakku seorang sopir truk. Ibuku seorang
Ibu rumah tangga. Adikku masih duduk di bangku sekolah menengah. Keluargaku
berkecukupan. Gajiku sangat cukup untuk menghidupi empat nyawa tiap bulannya,
aku minta pada Bapak agar tak lagi bekerja, tapi Bapak menolak, selalu menolak.
Aku masih sangat ingat bagaimana
dulu Bapak berjuang mendapatkan rizqi untuk mencukupi keluarganya. Aku masih
belum tahu bagaimana menghasilkan uang
yang banyak. Aku hanya sesekali berkeliling perumahan di depan kampung yang
kami tinggali, menawarkan donat buatan Ibu yang enak. Itu dulu. Sekarang jajanan
buatan Ibu itu sudah kalah dengan jajanan berlabel bagi penghuni komplek
perumahan.
Perjuangan Bapak waktu itu bisa kulihat pada wajah lelah saat
tidurnya, makan malam yang begitu lahap walau dengan lauk seadanya, semua itu
dilakukan untuk kami. Bapak selalu bersyukur dan mengajarkan kami mensyukuri
apa yang kami punya, walau tak banyak, asal baik dan halal.
“Ran berangkat dulu, Bu.” Kucium tangan
Ibu, tangan yang lembut dan penuh ketulusan.
“Ati-ati ya, jangan larut
malam pulangnya.” Pesan Ibu.
“Ran ndak janji, Bu. Tiba-tiba
ada kejadian yang harus diliput ya Ran ndak bisa pulang cepat.”
Aku bekerja di salah satu channel
televisi swasta sebagai seorang wartawati. Selepas SMA, aku mendapat beasiswa
untuk melanjutkan studi di salah satu sekolah jurnalistik.
Pekerjaanku sekarang ini menuntut
aku untuk menjadi perempuan tangguh. Aku harus berkejaran dengan waktu,
mengejar berita, dan tak mau terkejar oleh wartawan sainganku. Aku selalu
terobsesi untuk menjadi yang pertama dalam mendapatkan berita.
Sebenarnya aku tidak begitu nyaman
dengan apa yang aku kerjakan ini. Tapi entah, bagaimana lagi. Akhir-akhir ini
aku selalu dikelilingi gakta-fakta yang menakutkan, mengerikan, memilukan,
menyedihkan, dan semua itu harus kuliput.
Terkadang perasaanku berwujud
amukan, hatiku berontak pada apa yang aku kerjakan. Namun, aku belum mempunyai
keberanian untuk menghentikan ini semua. Ini masih menjadi pilihan dalam satu
perjalanan hidupku.
Ponselku berdering, satu sms singkat
dari rekan kerjaku.
Kecelakaan. Kampung Sawah. Get it now. Let’s go
Aku segera berkemas. Tas yang selalu
menemaniku saat meliput berita di lapangan segera kusandang, berlari kecil
menuruni anak tangga. Rekanku sudah ada di tempat parkir.
Kali ini aku kembali akan menulis
sebuah berita pilu. Aku menerawang lewat kaca mobil, menatap langit yang siap
berganti warna gelap, berharap kecelakaan yang akan aku liput tidaklah
kecelakaan maut yang memakan korban.
Aku sudah ada di tempat kejadian. Sepuluh
menit perjalanan. Ruas jalan ini sudah ramai, garis kuning polisi sudah mengelilingi
lokasi. Mataku mencari saksi mata. Kukejar info darinya, dia bilang kecelakaan
ini terjadi karena sopir membanting stir ke kanan jalan menghindari anak
kecil yang tiba-tiba lari ke jalan, malangnya sopir itu tidak bisa mengndalikan
kemudi sehingga menabrak 3 pengendara motor. Dua tewas.
“Kecelakaan maut. Lagi.” Gumamku.
“Sopirnya diamankan polisi, Neng. Di
sana.” Jelas Bapak separuh baya yang sudah kuminta keterangannya sambil
menunjuk ke satu arah.
Aku segera mendekat ke tempat yang
ditunjukkan orang tadi. Seorang lelaki beruban menunduk lemas di hadapan polisi.
Aku lebih mendekat. Siap membidik wajahnya.
Mataku terbelalak. Jantungku berdetak
sangat cepat. Dadaku sesak. Aku tak sanggup mengendalikan amukan hati ini. Pandanganku
kabur. Tubuhku gemetar.
“Ayo, Ran!” Kawan kerjaku
menyadarkan.
Air mataku menetes deras.
Lelaki beruban itu adalah Bapakku.
Next dorama queen :)
ReplyDeletemaksudnya?? :D
Delete